Selasa, Mei 21, 2024
BerandaTravelPuasa Di Belahan Bumi Utara Yang Nyaris Tidak Ada Malam: Tantangan Dan...

Puasa Di Belahan Bumi Utara Yang Nyaris Tidak Ada Malam: Tantangan Dan Kesempatan

- Advertisement -

Suratsuara.com – Puasa merupakan salah satu praktik ibadah penting dalam agama Islam yang dilakukan selama bulan Ramadan. Namun, bagi umat Islam yang tinggal di belahan bumi utara, pengalaman berpuasa dapat menjadi unik dan menantang karena fenomena nyaris tidak adanya malam selama beberapa periode dalam tahun. Fenomena ini terjadi terutama di wilayah-wilayah seperti Norwegia, Islandia, Alaska, dan sebagian besar wilayah Arktik, di mana matahari dapat terbit dan terbenam hanya dalam waktu singkat atau bahkan tidak sama sekali.

Tantangan Berpuasa di Belahan Bumi Utara

Bagi umat Islam yang tinggal di belahan bumi utara, menjalankan ibadah puasa menjadi lebih menantang karena mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan dramatis dalam pola matahari. Di musim panas, terutama di wilayah Arktik, matahari bisa tetap terbit sepanjang hari tanpa ada malam, fenomena yang dikenal sebagai “midnight sun”. Hal ini dapat menyebabkan jadwal berpuasa menjadi sangat tidak teratur, karena tidak adanya waktu yang jelas untuk memulai dan mengakhiri puasa sesuai dengan waktu matahari terbenam.

Selain itu, pengaruh psikologis juga dapat dirasakan oleh umat Islam di wilayah-wilayah ini. Kurangnya kegelapan malam bisa mempengaruhi siklus tidur dan kesehatan secara keseluruhan, karena tubuh manusia cenderung merespons terhadap cahaya matahari dalam mengatur ritme sirkadian.

Adaptasi dan Kesempatan

Meskipun tantangan tersebut nyata, umat Islam di belahan bumi utara telah menemukan berbagai cara untuk menyesuaikan diri dengan kondisi unik ini. Salah satu metode yang umum digunakan adalah mengikuti waktu ibadah dari kota-kota terdekat yang memiliki periode malam yang lebih jelas. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengacu pada jadwal waktu di kota-kota besar seperti Oslo, Stockholm, atau Helsinki.

Selain itu, ada juga upaya untuk menafsirkan prinsip-prinsip agama secara lebih fleksibel dalam situasi seperti ini. Beberapa ulama mengizinkan umat Islam untuk mengikuti jadwal waktu puasa yang lebih umum di wilayah-wilayah dengan pola matahari yang lebih konvensional, seperti menggunakan waktu terbenam matahari di kota-kota yang memiliki periode malam yang jelas.

Peluang untuk Refleksi Spiritual

- Advertisement -

Meskipun tantangan praktis yang dihadapi oleh umat Islam di belahan bumi utara, kondisi unik ini juga membuka peluang untuk refleksi spiritual yang mendalam. Kesadaran akan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan keragaman alam semesta dapat memperdalam pemahaman akan makna puasa sebagai bentuk pengorbanan dan penghambaan diri.

Selain itu, pengalaman berpuasa di tengah kondisi alam yang ekstrem juga dapat memperkuat rasa solidaritas umat Islam di seluruh dunia. Ketika mereka berbagi pengalaman dan strategi dalam menjalankan ibadah puasa di tengah tantangan unik ini, ikatan komunitas mereka pun semakin kuat.

Belahan bumi utara, khususnya di wilayah Arktik memiliki waktu terbit matahari yang sangat panjang. Lalu bagaimana berpuasa di sana? Dan apakah ada keringanan?

Berbeda dengan Indonesia yang memiliki waktu puasa sekitar 12-13 jam, terdapat daerah-daerah di Arktik yang memiliki jam puasa yang panjang. Bahkan, ada daerah yang memiliki waktu puasa sekitar 23 jam.

- Advertisement -

Panjangnya waktu tersebut lantaran waktu terbit matahari yang begitu panjang. Di daerah seperti Hammerfest, Norwegia, matahari nyaris tidak pernah tenggelam khususnya ketika di musim panas.

Merangkum berbagai sumber, itu yang membuat daerah seperti Hammerfest memiliki waktu sahur pada satu pagi dan berbuka sekitar 23.54 malam, alias nyaris 23 jam. Itu tentunya terlihat sangat ekstrim bagi masyarakat yang tak terbiasa. Sebab, waktu berbuka begitu dekat dengan sahur.

Lantas, apakah ada keringanan jika berpuasa di daerah dengan waktu siang hari yang panjang?

Melansir artikel milik Direktur Pascasarjana IAIN Metro, Dr. Mukhtar Hadi, M.Si, dalam website resmi metrouniv.ac.id, Sabtu (6/4/2024), kalau berdasarkan ketetapan hukum yang bersumber dari Al-Quran dan al Sunnah (nash), hampir tidak ada dalil yang bisa dijadikan dasar peringanan. Itu karena waktu puasa dijelaskan antara terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Kendati demikian, para ulama berdasarkan memberikan ijtihad atau fatwa yang jika diringkas terdapat tiga pendapat, yakni:

Pertama, orang yang berada dalam wilayah tersebut tetap berpuasa sebagaimana perjalanan matahari. Itu berarti tanpa keringanan dan sesuai dengan nash yang ada.

Kedua, masyarakat yang berpuasa di wilayah yang bersangkutan dapat menyesuaikan kecepatan puasanya dengan waktu puasa yang terjadi di Madinah atau Mekkah sebagai tempat diberikannya perintah puasa. Jadi, jika Madinah berbuka, maka berbukalah meskipun matahari belum terbenam di wilayah tersebut.

Ketiga, masyarakat yang berpuasa di suatu daerah dapat menyesuaikan diri dengan waktu yang berlaku di negaranya atau negara sekitarnya. Artinya, negara yang mempunyai keseimbangan waktu antara siang dan malam.

Dr. Mukhtiar Hadi menjelaskan, pandangan tersebut bukannya tanpa dasar. Karena agama Islam pada prinsipnya menginginkan kemudahan bukan kesulitan. Seperti dalam Al-Baqarah ayat 185, Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”

Berdasarkan hal itu, Quraish Shihab juga mengatakan bahwa penduduk kutub cukup mengukur puasanya dengan waktu yang ditempuh kaum muslim yang berpuasa di daerah normal yang terdekat dengan wilayah mereka. Wallahu a’lam bishawab.

- Advertisement -
Advertisement
RELATED ARTICLES

Tetap Terhubung

199,856FansSuka
215,976PengikutMengikuti
152,458PengikutMengikuti
284,453PelangganBerlangganan

Most Popular