Kabinet 40 Menteri: Mahfud MD Kritik, Gerindra Beri Pembelaan
Jakarta – Wacana pembentukan kabinet dengan jumlah 40 menteri pada masa pemerintahan Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto menuai kritik dari Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD. Menurut Mahfud, isu tersebut merupakan contoh buruk dalam praktik politik.
“Kita sedang berpolitik dengan cara yang kurang tepat,” ujar Mahfud di Jakarta, Selasa (7/5). “Saat ada kegiatan politik, jabatan-jabatan kemudian dibagikan, jumlah jabatan diperbanyak tanpa alasan yang jelas.”
Mahfud menilai tren penambahan menteri setiap pemilu merupakan hal yang merugikan. Dengan masa jabatan Presiden hanya lima tahun, jumlah menteri di Indonesia menjadi terlalu banyak.
“Setiap pemilu, jabatan setingkat menteri terus bertambah,” kata mantan Menko Polhukam itu. “Jika ini terus berlanjut, negara kita akan memiliki terlalu banyak menteri.”
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman membela wacana kabinet 40 menteri. Ia menilai jumlah tersebut wajar mengingat luasnya wilayah Indonesia dan besarnya tantangan yang dihadapi.
“Negara kita besar, tantangan kita juga besar,” ujar Habiburokhman pada Senin (6/5). “Wajar jika kita perlu melibatkan banyak orang untuk berkumpul dalam pemerintahan.”
Habiburokhman menambahkan, ada masukan dari anggota DPR yang menginginkan adanya pemisahan beberapa kementerian yang dianggap tidak sinkron dalam tugas-tugasnya. Ia mencontohkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang dinilai memiliki tugas yang beragam.
“Ada administrasi hukum umum (AHU), pemasyarakatan, dan HAM,” jelas Habiburokhman. “Di banyak negara, tugas-tugas ini diurus oleh pejabat khusus yang berbeda.”
Habiburokhman menegaskan, wacana penyempurnaan tugas dan fungsi kementerian dan lembaga yang ada merupakan hal yang wajar. “Konsekuensinya, mungkin akan ada penambahan jumlah kementerian dan lembaga,” pungkasnya.
Perdebatan mengenai jumlah menteri dalam kabinet mendatang masih akan terus berlanjut. Namun, kritik dari Mahfud MD dan pembelaan dari Partai Gerindra menjadi indikasi adanya perbedaan pandangan di kalangan elite politik mengenai praktik pembagian jabatan.