Suratsuara.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi pusat perhatian masyarakat dengan keputusan-keputusannya yang penting bagi masa depan demokrasi negeri ini. Salah satu momen terpenting belakangan ini adalah putusan atas kasus yang memicu perdebatan sengit mengenai keadilan dan keberlanjutan demokrasi: kasus Megawati Soekarnoputri terkait tes kewarganegaraan.
Pada tanggal 5 April 2024, MK mengambil keputusan yang memutuskan Megawati Soekarnoputri memenuhi syarat sebagai warga negara Indonesia berdasarkan bukti-bukti yang diajukan. Keputusan ini merupakan puncak dari proses hukum yang panjang, yang mencakup berbagai argumentasi hukum dan politik dari kedua belah pihak.
Kasus Megawati Soekarnoputri terungkap saat ia mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam pemilihan umum. Saat itu, kelompok yang tidak setuju dengan calon mengangkat isu kewarganegaraan. Mereka menduga Megawati tidak memenuhi syarat karena memiliki kewarganegaraan ganda. Namun tim kuasa hukum Megawati berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang meyakinkan MK bahwa ia adalah warga negara Indonesia yang sah.
Putusan Mahkamah Agung dalam hal ini mempunyai implikasi yang jauh lebih luas dibandingkan sekedar menentukan status kewarganegaraan seseorang. Hal ini menyoroti pentingnya independensi peradilan dalam menjaga keadilan dan demokrasi. MK sebagai penjaga konstitusi harusnya mampu bertindak tanpa adanya tekanan politik atau intervensi dari pihak manapun.
Namun keputusan MK tidak selalu mudah diterima semua pihak. Terkadang, keputusan ini bisa menimbulkan kontroversi dan memicu reaksi politik. Namun keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dan keadilan sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus Megawati juga menggarisbawahi pentingnya menghormati prinsip-prinsip hukum dalam proses politik. Tanpa penegakan hukum yang adil dan adil, demokrasi dapat terancam oleh manipulasi politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, setiap warga negara harus yakin bahwa sistem hukum dapat menegakkan keadilan tanpa diskriminasi.
Kasus ini juga menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik. Masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui informasi relevan mengenai pemimpinnya, termasuk isu kewarganegaraan. Namun informasi tersebut harus disajikan secara jujur dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Sebagai negara demokrasi berkembang, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memperkuat institusi demokrasi dan meyakinkan masyarakat akan keadilan sistem. Kasus seperti Megawati menunjukkan bahwa perjalanan menuju demokrasi yang kuat tidaklah mudah, namun keberadaan lembaga seperti MK merupakan langkah penting dalam memastikan keadilan dan supremasi hukum tetap menjadi pilar kuat di negeri ini.
Tak hanya masyarakat, Megawati Soekarnoputri juga berharap fajar keadilan muncul di Mahkamah Konstitusi (MK).
Boleh jadi karena itulah ia memilih “bersembunyi” dari hiruk pikuk perbincangan publik soal dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang kini tengah diproses MK.
Megawati menyampaikan pandangan dan harapannya kepada hakim yang mengadili sengketa pilpres.
Menariknya, pandangan tersebut tertuang dalam artikel berjudul “Kenarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” (.id, 08/04/2024). Bukan disampaikan melalui pidato, konferensi pers, atau wawancara khusus yang dapat diliput oleh banyak media massa.
Saya menduga pesan tersebut akan sampai secara utuh, tidak terpotong, khususnya kepada hakim MK.
Selain itu, ia dihadirkan sebagai “warna bangsa Indonesia”, bukan sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai politik (parpol) yang meraih suara terbanyak tiga kali berturut-turut, melainkan sebagai pemimpinnya. wakil presiden yang kuat kalah telak dalam pemilihan presiden 2024.
Pandangan itu merupakan sikap pribadi yang disuarakan sebagai bagian dari “amicus curiae” (sahabat istana). Seperti halnya “amicus curiae” yang juga disuarakan para guru besar dari sejumlah kampus, budayawan/seniman, dan berbagai kalangan lainnya hingga hakim MK beberapa waktu lalu.
Tidak mewakili sikap partai politik yang dipimpinnya. Namun tetap mempunyai pengaruh, karena disuarakan oleh pimpinan partai politik terbesar.
Saya setuju dengan pandangan Megawati. Akankah fajar keadilan muncul di MK, ataukah MK membiarkan praktik pemilu yang penuh aroma penyalahgunaan kekuasaan dalam sejarah demokrasi Indonesia?
Ini adalah pertanyaan utama artikel ini. Saya kira itu juga yang menjadi pertanyaan utama sebagian masyarakat Indonesia.
Kewarganegaraan
MK sedang mengadili sengketa Pilpres 2024. Baik pasangan 01 (Anies-Muhaimin) maupun pasangan 03 (Ganjar-Mahfud) sama-sama menggugat hasil pemilu presiden yang dimenangkan pasangan 02 (Prabowo-Gibran) di MK.
Keduanya mendalilkan hal yang kurang lebih sama, bahwa Pilpres 2024 penuh dengan kecurangan dan pelanggaran serta penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan presiden.
Hasil pemilu presiden dan dalil-dalil gugatan pasangan 01 dan 03 sebenarnya tak luput dari perbincangan publik menjelang pemilu presiden digelar.
Aroma kecurangan, pelanggaran, dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan presiden pada Pilpres 2024 sudah tercium pasca keluarnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sangat kontroversial.
Putusan MK itu menjadi dasar hukum pasangan Prabowo-Gibran untuk mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), meski Gibran belum memenuhi syarat usia.
Keputusan tersebut mendapat kecaman dari banyak kalangan. Megawati pun mengkritiknya. Dinilai melanggar aturan, melanggar kepatutan (moralitas), dan melecehkan nalar masyarakat.
Isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta politik dinasti yang terkait dengan kekuasaan Orde Baru kembali menjadi perhatian publik. Pasalnya Gibran merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo.
Putusan MA Nomor 90 pun mengakibatkan sejumlah hakim MA divonis hukuman etik. Bahkan, Anwar Usman, paman Gibran, dicopot dari jabatan Ketua MK.
Keputusan tersebut juga mencakup pemberian sanksi etik oleh DKPP (Dewan Kehormatan Pengelgara Pemili) kepada anggota KPU.
DKPP menilai Komisioner KPU melakukan pelanggaran etik, karena tidak memperhatikan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dengan tidak merevisi aturan prosedur terkait kondisi calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya. keputusan Nomor 90.
DKPP memberikan sanksi berupa teguran keras terakhir kepada Ketua KPU. Enam komisioner lainnya diberi sanksi peringatan keras.
Itu semua menjadi sisa Pilpres 2024 yang tentu saja menurunkan derajat legitimasinya. Bahkan menjadi bahan gugatan di MK.
Sidang perselisihan Pilpres 2024 digelar di MK. Masyarakat bisa mengikutinya secara langsung.
Lebih seru dibandingkan sidang sengketa pilpres sebelumnya. Setidaknya ada empat pejabat sekelas menteri yang dihadirkan MK, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Meski pemaparan para menteri terkesan normatif dan hanya hakim yang diberi kesempatan bertanya, setidaknya hal itu memunculkan harapan akan fajar keadilan di MK. Dan, kini bola berada di tangan hakim MK.
Karena itu, masyarakat harus mendorong dengan segala hormat kepada hakim MK untuk menggunakan “keistimewaan” jabatannya.
Hakim konstitusi bukanlah jabatan sembarangan dan diisi secara acak oleh orang-orang. Selain disumpah atas nama Tuhan, syarat hakim konstitusi diatur dalam UUD 1945.
Salah satu syarat yang tercantum dalam UUD 1945, hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Sangat istimewa, karena syarat kenegarawanan tidak ditentukan bagi jabatan negara lainnya dalam UUD 1945. Bahkan syarat presiden tidak secara tegas menyebutkan negarawan.
Tentu saja hakim konstitusi adalah orang-orang istimewa yang melampaui jabatan-jabatan negara lainnya, yang dapat dikatakan “menyelesaikan urusannya sendiri”.
Kenegaraan mengandung muatan normatif yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan kualitas seorang politisi. Dalam negara demokrasi, seluruh warga negara berhak menjadi politisi, namun tidak semua politisi memiliki kualifikasi sebagai negarawan.
Kepentingan pragmatis tidak bisa dihindari dalam politik demokrasi. Namun dalam negara demokrasi juga tidak dibutakan oleh kepentingan kekuasaan yang cenderung pragmatis.
Di situlah kewarganegaraan diperlukan. Suatu sifat tertentu yang tidak lepas dari preferensi moral yang dimiliki seseorang, yang menjadikannya bijaksana dan berbudi luhur.
Dan, hakim MK yang mengadili perselisihan Pilpres 2024 juga harus berpegang teguh pada prinsip moralitas (etika), karena undang-undang sejatinya dibuat untuk menjamin nilai-nilai kebaikan bersama dapat berjalan di masyarakat.
Bersejarah
Kualitas kenegarawanan yang dituntut hakim MK bersifat historis. MK adalah produk sejarah.
MK menandai babak baru dalam sejarah politik demokrasi Indonesia pasca Orde Baru. Jadi, di atas kertas kehadiran MK juga harus menjamin dan memastikan kualitas demokrasi Indonesia semakin membaik dari waktu ke waktu.
Peningkatan kualitas demokrasi bukan hanya soal prosedur (misalnya pemilu), namun juga substansinya (misalnya kebebasan berpendapat).
Oleh karena itu, dari sudut sejarah, tidak berlebihan jika MK diidentikkan dengan fajar keadilan itu sendiri. Sinarnya diharapkan bisa menerangi kegelapan perjalanan demokrasi Indonesia.
Kemana? Tak lain dan tak bukan, menuju tanah harapan di seberang jembatan emas proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Fajar keadilan adalah keniscayaan dalam sejarah manusia dan bangsa. Bangsa Indonesia lahir dari fajar keadilan yang terbit di seluruh pelosok nusantara.
Saya percaya pada gerakan dialektis dalam sejarah. Cut Nyak Dien, Diponegoro, Pattimura lahir sebagai antitesis terhadap praktik kolonialisme. Adalah Soekarno yang meneriakkan “Indonesia Menuntut” di hadapan hakim kolonial di Bandung pada tahun 1930.
Mereka adalah awal dari keadilan pada masanya. Mirip dengan Ratu Adil yang menyulut pemberontakan petani pada abad ke-18 dan ke-19.
Jadi, seperti disampaikan Megawati dalam artikel tersebut, tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur.
Dalam gerak alam semesta disebut “hukum alam”. Dalam pergerakan sejarah disebut “hukum sejarah”. Hanya masalah waktu saja, cepat atau lambat fajar akan terbit dengan caranya sendiri.
Oleh karena itu, keputusan hakim MK atas perselisihan Pilpres 2024 sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Apakah keadilan substantif benar-benar dapat ditegakkan oleh hakim MK, atau malah sebaliknya hakim semakin terseret dalam tarik-menarik kepentingan kekuasaan politik? Kewarganegaraan hakim MK benar-benar diuji.
Megawati pun ikut diuji
Tak hanya di MK, fajar keadilan juga diharapkan muncul di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupa Hak Bertanya. Banyak kalangan menilai, dengan hak konstitusionalnya, DPR mampu menyelesaikan kisruh Pilpres 2024.
Seperti diketahui masyarakat, hak pilih yang bermula dari gagasan Ganjar Pranowo kemudian mendapat respon positif dari sejumlah masyarakat. Namun, tampaknya “layu sebelum tumbuh”.
Pembahasan hak angket menguap, tidak ada kejelasan. PDIP sebagai partai politik utama pengusung Ganjar tidak memberikan kejelasan. Bahkan, keseriusan PDIP dinilai menjadi kunci kemungkinan terbitnya fajar keadilan di DPR melalui Hak Angket.
Kami memahami bahwa Hak Bertanya memiliki risiko politik yang signifikan. Secara politis hal ini dapat ditendang dimana saja sehingga menimbulkan ketegangan dan gejolak politik. Hal ini juga bisa berujung pada pemakzulan Presiden Joko Widodo.
Risiko politik yang sama sebenarnya juga bisa terjadi ketika fajar keadilan muncul di MK, misalnya MK memutuskan pemilihan presiden ulang. Alasan keputusan MK bisa saja dibawa para politisi ke Senayan, dan berpotensi memakzulkan presiden.
Di sanalah Megawati Soekarnoputri diuji kenegarawanannya. Di satu sisi mengharapkan fajar keadilan muncul di MK, di sisi lain fajar keadilan berpotensi melahirkan ketegangan dan gejolak politik baru.
Memang tidak mudah bagi Megawati. PDIP sebagai partai politik terbesar tentunya memegang peran penting dalam dinamika politik Indonesia pasca putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.
Apapun putusan MK akan menjadi ujian bagi kenegaraan Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan tertinggi PDIP.
Namun melihat perjalanan politik Megawati yang terjal dan berliku, saya yakin sebagai negarawan sejati ia akan mampu mengatasinya. Saya yakin Megawati punya cara mengelola dinamika politik yang tidak mengorbankan bangsa dan tetap menjaga integritas.
Saya masih ingat wawancara eksklusif Rosiana Silalahi dengan Megawati dalam acara ROSI yang ditayangkan di TV, Kamis 8 Februari 2024.
Banyak pihak yang mendorong Megawati melakukan manuver politik dengan menarik menterinya dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, ia memiliki sudut pandang lain berdasarkan aturan dan etika.
Megawati dengan gamblang memaparkan alasannya mencegah menteri PDIP mundur dari kabinet Presiden Joko Widodo. Ia selalu melihat aspek “buttungnya” bagi bangsa dan negara. Tidak melihat aspek “keuntungan” untuk diri sendiri.
Ia tidak ingin pemerintah terguncang hanya demi kepentingan elektoral, sedangkan rakyat, bangsa, dan negaralah yang menanggung akibatnya. Dan, itulah yang diyakini sebagai etika yang seharusnya mendorong politik.
Dalam artikel bertajuk “Statecraft Hakim Mahkamah Konstitusi”, Megawati mempunyai empat pedoman sederhana yang dapat mewujudkan statecraft.
Salah satunya adalah qana’ah, perasaan puas dengan apa yang ada. Ketika konstitusi membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode, itulah kebenaran yang harus ditaati. Tidak dapat diperluas, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Prinsip qana’ah menurut saya juga penting untuk melihat realitas sosial. Kenyataannya ada batasnya, dan tidak bijaksana bagi kita untuk memaksakan kehendak kita melebihi batas itu.
Harapan bisa melambung tinggi, tapi ada batasnya untuk menjadi kenyataan. Seorang negarawan harus mampu menahan diri atas kemauan dan kepentingannya sendiri.
Prinsip qana’ah, menurut saya, menjadikan Megawati selalu memiliki semangat perjuangan yang tak kenal lelah dan pasrah, namun tetap realistis. Menjadikan Megawati mampu memimpin PDIP, baik di luar pemerintahan maupun memimpin pemerintahan.
Megawati tidak pernah khawatir meski partai yang dipimpinnya berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Saya kira, Megawati akan memilih PDIP dari pemerintahan jika ternyata MK memilih jalan gelap demokrasi, menolak fajar keadilan di sana.
Prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh hakim MK dan pemimpin Indonesia yang ingin melihat masa depan demokrasi Indonesia bersinar cerah.