Suratsuara.com – Pemilu, sebagai fondasi dari sistem demokrasi modern, semestinya menjadi pilar utama dalam menentukan nasib suatu bangsa. Namun, di banyak negara, pemilu telah menjadi panggung untuk korupsi dan kecurangan politik yang merusak proses demokratis itu sendiri. Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia, dan tidak terkecuali di Zimbabwe, sebuah negara yang baru-baru ini dikenakan sanksi oleh Amerika Serikat sebagai respons terhadap dugaan pelanggaran demokrasi.
Korupsi dan kecurangan pemilu telah menjadi masalah kronis di Zimbabwe selama bertahun-tahun. Dalam setiap siklus pemilihan, muncul laporan-laporan tentang intimidasi terhadap pemilih, pembelian suara, penghitungan suara yang tidak adil, dan penekanan terhadap oposisi. Praktik-praktik ini telah mencoreng legitimasi pemerintahan dan merusak kepercayaan publik terhadap proses demokratis.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah pemilihan presiden tahun 2018 di Zimbabwe. Pemilu ini disertai dengan tuduhan besar terhadap partai yang berkuasa, ZANU-PF, yang dipimpin oleh mantan presiden Robert Mugabe. Laporan-laporan independen menunjukkan adanya intimidasi terhadap pemilih, manipulasi data pemilih, dan pemalsuan hasil suara. Praktik-praktik semacam ini telah menyebabkan ketidakpuasan yang meluas di antara rakyat Zimbabwe, serta kecaman internasional yang tajam.
Tindakan AS dalam menerapkan sanksi terhadap Zimbabwe merupakan respons terhadap krisis demokrasi yang berkembang di negara tersebut. Salah satu alasan utama di balik langkah tersebut adalah untuk menekan pemerintah Zimbabwe agar memperbaiki proses demokratisnya dan mengakhiri praktik-praktik korupsi yang merusak.
Namun, sanksi tersebut juga memunculkan debat tentang efektivitas dan dampaknya terhadap rakyat Zimbabwe. Beberapa pihak berpendapat bahwa sanksi ekonomi hanya akan memperburuk kondisi ekonomi yang sudah rapuh di negara itu, sementara yang lain berpendapat bahwa tekanan internasional diperlukan untuk memaksa perubahan yang diperlukan dalam sistem politik Zimbabwe.
Dalam mengatasi korupsi dan kecurangan pemilu, langkah-langkah yang diperlukan termasuk reformasi yang ketat dalam sistem pemilihan, penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kecurangan, dan penguatan lembaga-lembaga independen yang mengawasi proses pemilihan. Lebih dari itu, penting bagi komunitas internasional untuk terus memantau situasi di Zimbabwe dan memberikan dukungan kepada upaya-upaya reformasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil.
Dalam era di mana demokrasi diuji oleh kekuatan otoritarianisme dan ketidakstabilan politik, penting bagi negara-negara untuk bersatu dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang mendasari sistem politik modern. Hanya dengan mengatasi korupsi dan kecurangan pemilu, kita dapat memastikan bahwa suara rakyat benar-benar terdengar dan bahwa pemerintahan yang terpilih mewakili keinginan dan kepentingan sebenarnya dari mereka yang mereka layani.
AMERIKA Serikat (AS) baru saja mengenakan sanksi kepada 11 figur di Zimbabwe, termasuk Presiden Zimbabwe, Emmerson Mnangagwa. Figur-figur lain yang dikenakan sanksi antara lain istri Mnangagwa dan pejabat-pejabat lain yang diduga melakukan tindak korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.
AS juga mengenakan sanksi terhadap tiga bisnis yang berbasis di Zimbabwe. Alasannya sama, yaitu dugaan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan mencurangi pemilihan umum.
Sebelumnya, tahun 2003, AS menjatuhkan sanksi terhadap lebih dari 70 figur dengan posisi penting di pemerintahan Zimbabwe, termasuk Presiden Zimbabwe saat itu, Robert Mugabe. Alasanya, figur-figur tersebut telah “merusak demokrasi” Zimbabwe. Presiden Mnangagwa yang saat itu menjabat ketua parlemen Zimbabwe juga menjadi salah satu orang yang dikenakan sanksi AS.
Sanksi-sanksi dari tahun 2003 itu kemudian dicabut AS, setelah Presiden Joe Biden menyetujui tindakan eksekutif pada Senin (1/4/2023) lalu untuk mencabut sanksi tersebut. Sebagai gantinya, sanksi terbaru AS terhadap Zimbabwe kali ini akan dikerahkan berdasarkan Global Magnitsky Act tahun 2016.
Undang-undang itu memberikan wewenang kepada pemerintah AS untuk memberikan sanksi kepada pejabat asing di seluruh dunia jika memang ada dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Caranya adalah membekukan aset mereka atau melarang mereka memasuki AS untuk urusan tidak resmi.
Dengan beralih ke undang-undang tahun 2016 itu, AS mengatakan akan lebih sedikit individu dan bisnis di Zimbawe yang menerima sanksi kali ini dibandingkan dengan tahun 2003.
Wakil Menteri Keuangan AS, Wally Adeyemo, menyebut sanksi kali ini “tidak dimaksudkan untuk menargetkan rakyat Zimbabwe”. Sanksi kali ini berfokus pada “target spesifik” seperti “jaringan kriminal pejabat pemerintah dan para pengusaha di bawah Presiden Mnangagwa yang paling bertanggung jawab atas korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Zimbabwe.”
Perubahan sanksi itu mendapat sambutan baik dari Rutendo Matinyarare, pendukung pemerintah yang memimpin Gerakan Anti-Sanksi Zimbabwe. Dalam unggahannya di X, Matinyarare menulis, “Sanksi sebenarnya sudah hilang sekarang, jadi tidak ada alasan lagi. Ayo bangun negara sekarang.”
Juru bicara pemerintah Zimbabwe, Nick Mnangagwa, juga menyambut baik keputusan Biden. Meski begitu, ia juga mengecam keputusan AS untuk memberikan sanksi baru lagi dan menyebut sanksi baru tersebut “illegal”.
“Dengan demikian, selama Presiden kami berada di bawah sanksi, Zimbabwe tetap berada di bawah sanksi ilegal, selama anggota Keluarga Pertama berada di bawah sanksi, Zimbabwe tetap berada di bawah sanksi ilegal, dan selama para pemimpin senior berada di bawah sanksi, kami semua terkena sanksi. Dan selama anggota korporasi Zimbabwe terkena sanksi, kami pun terkena sanksi,” kata Nick Mnangagwa dalam sebuah pernyataannya di platform X.
“Memang (sanksi) banyak badan hukum dan perorangan telah dihilangkan tetapi jika Presiden, Ibu Negara dan pejabat senior tetap diberi sanksi maka Zimbabwe tetap terkena sanksi dan dibebani oleh tindakan ilegal ini,” kata juru bicara dari salah satu partai di Zimbabwe, Zanu-PF, Farai Marapira di X.
Dalam sebuah pernyataan, pemerintahan Mnangagwa menyebut sanksi baru AS tersebut adalah “pencemaran nama baik” dan merupakan sebuah “fitnah yang tidak beralasan” terhadap para pemimpin dan rakyat Zimbabwe.
Alasan Sanksi
AS menjelaskan, pemberian sanksi itu demi mendorong demokrasi dan akuntabilitas serta mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di Zimbabwe.
“Kami terus mendesak Pemerintah Zimbabwe untuk bergerak menuju pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis, termasuk dalam hal memberantas korupsi dan perlindungan hak asasi manusia, sehingga semua warga Zimbabwe bisa sejahtera,” kata David Gainer, Wakil Asisten Menteri Luar Negeri AS.
Zimbabwe menjadi salah satu fokus penting AS karena Zimbabwe merupakan salah satu penerima dana bantuan AS yang terbesar. Sejak kemerdekaan Zimbabwe dari Inggris tahun 1980 sampai dengan tahun 2020, Zimbabwe menerima bantuan AS sebesar 3,5 miliar dollar AS (setara Rp 237,9 triliun).
Selain AS, negara-negara lain seperti Inggris dan Uni Eropa juga mengenakan sanksi serupa terhadap Zimbabwe. Alasannya serupa dengan AS.
Pengaruh Sanksi terhadap Ekonomi Zimbabwe
Tahun lalu, Wakil Presiden Zimbabwe, Constantino Chiwenga mengatakan, Zimbabwe telah kehilangan lebih dari 150 miliar dolar AS akibat sanksi yang diberikan AS dan Uni Eropa.
Alena Douhan, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk tindakan koersi sepihak melaporkan berdasarkan kunjungannya ke Zimbabwe tahun 2021, sanksi-sanksi tersebut jelas “… telah memperburuk tantangan sosial dan ekonomi yang sudah ada sebelumnya dengan konsekuensi yang membahayakan bagi masyarakat Zimbabwe, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, perempuan, anak-anak, lanjut usia, penyandang disabilitas serta kelompok marginal dan rentan lainnya.”
Walau sanksi membawa dampak buruk bagi perekonomian Zimbabwe, seorang ekonom Zimbabwe, Gift Mugano mengatakan, korupsi membawa dampak lebih buruk lagi terhadap perekonomian Zimbabwe. Ia mengatakan kepada Al Jazeera,“Zimbabwe dapat meminimalisir potensi efek daripada sanksi, tetapi korupsi adalah masalah utamanya.”
Ia juga berargumen, AS maupun pihak lainnya tidak pernah mengenakan sanksi terhadap sektor perdagangan sehingga tetap memungkinkan Zimbabwe untuk masih mampu “… melakukan perdagangan dengan siapapun, termasuk Amerika dan Eropa: tindakan tersebut bersifat finansial dan tidak memengaruhi perdagangan.”
Sanksi Tak Berhasil
Eddie Cross, ekonom yang jadi penasihat pemerintah sekaligus seorang penulis biografi Presiden Mnangagwa menyebutkan bahwa sanksi yang diberikan tidak berhasil memberantas korupsi. Cross menyatakan, mengapa AS tidak mengenakan sanksi terhadap China saja yang ia nilai tidak demokratis.
Sebuah laporan Institute of Security Studies Africa (ISS) tahun 2022 juga menyebutkan bahwa sebagian besar sanksi yang ditujukan untuk mendorong demokrasi juga tidak berhasil. Berdasarkan laporan tersebut, pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi dan kebebasan politik di Zimbabwe masih sangat dibatasi.
Amnesty International juga secara berkala menyoroti kebebasan berekspresi, penangkapan jurnalis, dan pelecehan terhadap anggota kepolisian oposisi dan anggota partai Zanu-PF di Zimbabwe.
Penyelidikan Al Jazeeratahun lalu menemukan bahwa pemerintah Zimbabwe memiliki geng penyelundup untuk menjual emas senilai ratusan juta dolar untuk membantu mengurangi dampak sanksi.
Respon Beragam dari Rakyat Zimbabwe
Sejak tahun 2019, para anggota Broad Alliance Against Sanctions telah berkemah di luar Kedutaan Besar AS di Harare. Mereka menuntut agar semua sanksi diakhiri.
Sally Ngoni, pemimpin kelompok tersebut menyebut sanksi sebagai “… alat untuk memengaruhi perubahan rezim di Zimbabwe; mereka ingin pemerintah kita gagal; itu hukuman karena merebut kembali tanah kami yang dicuri orang kulit putih.”
Di sisi lain, warga Zimbabwe lainnya yang justru mendukung sanksi tersebut dan berargumen bahwa sanksi itu harus tetap diberlakukan sampai pemerintah berhenti melecehkan dan membungkam tokoh oposisi.
Beberapa pihak juga meyakini penghapusan sanksi akan membantu mengungkap kelemahan pemerintah Zimbabwe. “Pencabutan seluruh sanksi akan memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah karena mereka tidak dapat lagi menggunakan sanksi sebagai alasan,” kata Joseph Moyo, seorang akuntan di Harare.