Suratsuara.com – Setelah berbagai perdebatan panjang dan intens, salah satu isu yang masih menghangat hingga saat ini adalah dugaan pelanggaran Tata Siasat Memilih (TSM) dalam Pilpres yang lalu. Tim Hukum dari kubu 02 telah menegaskan pandangan mereka bahwa dugaan pelanggaran tersebut seharusnya tidak diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pandangan ini tentu saja menciptakan diskusi yang kompleks di tengah-tengah masyarakat.
Alasan yang dikemukakan oleh Tim Hukum 02 mengenai ketidakpatutan pengadilan kasus TSM di MK adalah kerangka hukum yang ada. Menurut mereka, TSM bukanlah ranah yang sesuai untuk diadili di MK. Argumen ini didukung oleh poin-poin yang mereka anggap mendasar dalam konstruksi hukum yang berlaku. Meski demikian, pandangan ini tidaklah bersifat mutlak, dan perlu diperdebatkan lebih lanjut.
Salah satu argumen yang mungkin diangkat oleh Tim Hukum 02 adalah bahwa TSM lebih bersifat administratif daripada konstitusional. Ini berarti bahwa permasalahan seputar TSM harus ditangani di tingkat administratif atau pengawasan internal lembaga penyelenggara pemilu, bukan di ranah hukum konstitusi. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip legalitas yang mengatur ruang lingkup pengadilan dan yurisdiksi.
Namun, di sisi lain, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa MK memiliki wewenang untuk mengadili perkara seputar TSM. Argumen ini mengacu pada peran MK sebagai pengawal konstitusi, di mana mereka memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa setiap proses pemilihan umum berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, pelanggaran terhadap TSM bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin oleh konstitusi.
Perdebatan seputar apakah kasus TSM seharusnya diadili di MK atau tidak, pada akhirnya, menjadi persoalan kompleks yang memerlukan penanganan yang cermat. Di satu sisi, penting untuk memastikan bahwa setiap klaim pelanggaran diproses secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, di sisi lain, perlu juga diperhatikan agar tidak terjadi penyalahgunaan lembaga hukum untuk kepentingan politik tertentu.
Saat ini, publik menunggu dengan antusias hasil dari pembahasan dan persidangan terkait dugaan pelanggaran TSM ini. Apapun keputusan yang diambil, hal ini akan memiliki dampak yang signifikan bagi integritas sistem peradilan dan proses demokrasi secara keseluruhan. Semoga penyelesaian dari isu ini dapat menjadi landasan bagi pembaruan sistem pemilihan yang lebih transparan dan akuntabel di masa yang akan datang.
Anggota Tim Hukum paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Ali Lubis, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak melanjutkan sidang sengketa pilpres jika yang diadili merupakan dugaan pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis, Masif (TSM). Ali mengatakan hal itu sudah di luar kewenangan MK.
Ali mengungkit permohonan sengketa pilpres yang telah dilayangkan kubu paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md ke MK. Adapun agenda sidang di MK telah sampai pada tahap pembacaan jawaban pihak termohon, keterangan pihak terkait dan keterangan pihak Bawaslu RI.
Ali merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Menurut dia, kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), bukan pelanggaran administrasi yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
Ali menyebutkan ketentuan itu juga termuat dalam Pasal 475 ayat 2 UU Pemilu tahun 2017. Menurutnya, pasal itu telah mengatur permohonan keberatan terkait hasil pemilu presiden hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya paslon atau penentuan untuk terpilih kembali pada pemilu presiden.
“Kata hanya menunjukkan kewenangan dan kompetensi Mahkamah Konstitusi secara limitatif hanya menyelesaikan sengketa hasil pemilu termasuk pemilu presiden, bukan memeriksa hal-hal lain seperti dugaan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM),” kata Ali dalam keterangannya, Jumat (29/3/2024).
Dengan begitu, Ali meminta MK tidak melanjutkan persidangan jika mengadili terkait dugaan pelanggaran pilpres bersifat TSM.
“Oleh sebab itu berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum di atas khususnya Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan UU Pemilu tahun 2017 sebaiknya Mahkamah Konstitusi tidak melanjutkan proses persidangan terkait mengadili pelanggaran pilpres yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) karena bukan kewenangannya,” ujar Ali.
“Adapun kewenangan MK hanya terkait sengketa perolehan suara. Sebab jika masih dilanjutkan proses persidangan maka hal ini dapat dikategorikan melanggar UUD 1945,” lanjut dia.