Suratsuara.com – Indonesia baru saja melalui proses demokrasi yang hangat dengan pemilihan umum yang diselenggarakan secara nasional. Namun, seperti halnya dalam setiap proses demokrasi, terkadang sengketa muncul terkait hasil pemilu. Salah satu partai politik yang tengah terlibat dalam sengketa hasil pemilu adalah Partai NasDem.
Partai NasDem, yang didirikan pada tahun 2011, telah menjadi salah satu kekuatan politik yang signifikan di Indonesia. Dalam pemilu terbaru, mereka telah menunjukkan kekuatan politik mereka dengan meraih suara yang cukup besar. Namun, seperti yang sering terjadi dalam kontes politik, terdapat kontroversi terkait hasil pemilihan.
Sengketa: Sebuah Tantangan untuk Demokrasi
Sengketa hasil pemilu adalah bagian dari proses demokrasi yang kompleks. Ini mencerminkan keberagaman pandangan politik di dalam masyarakat. Namun, penting bagi semua pihak yang terlibat untuk menangani sengketa ini dengan bijak dan mematuhi prinsip-prinsip demokrasi serta supremasi hukum.
Dalam kasus sengketa hasil pemilu yang melibatkan Partai NasDem, penting bagi mereka untuk mengekspresikan keberatan mereka dengan cara yang sesuai dengan hukum dan konstitusi. Ini menegaskan pentingnya lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menegakkan aturan hukum dan menyelesaikan perselisihan politik.
NasDem: Harapan pada MK
Partai NasDem mengharapkan Mahkamah Konstitusi untuk menunjukkan kelasnya sebagai penjaga konstitusi. Mereka percaya bahwa MK memiliki peran kunci dalam menyelesaikan sengketa ini secara adil dan transparan, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi di Indonesia.
Langkah-langkah hukum yang diambil oleh Partai NasDem menunjukkan komitmen mereka untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur yang sah dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Mereka memilih untuk mempercayakan MK sebagai arbiter yang adil dalam menyelesaikan perselisihan ini.
Pentingnya Penyelesaian yang Damai
Dalam suasana politik yang tegang, penting bagi semua pihak yang terlibat untuk menjaga ketenangan dan mengutamakan penyelesaian yang damai. Konflik politik yang berlarut-larut hanya akan merugikan masyarakat dan melemahkan fondasi demokrasi.
Partai NasDem menunjukkan kedewasaannya dalam menangani sengketa ini dengan cara yang santun dan beradab. Mereka menggunakan jalur hukum yang tersedia untuk mengekspresikan keberatan mereka, tanpa mengadopsi tindakan yang provokatif atau merugikan.
Partai NasDem berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan kelasnya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024.
“Terkait dengan amar putusan, tentunya MK dituntut menunjukkan kelasnya dalam kapasitas sebagai penjaga atau pengawal konstitusi,” ucap Ketua DPP Partai NasDem Atang Irawan dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (12/4/2024) seperti dilansir Antara.
Dalam hal MK sebagai pengawal konstitusi, menurut Atang, melekat pula tanggung jawab sebagai lembaga penyeimbang dalam rangka proses periksa dan timbang (check and balance).
“Apalagi, kedudukannya sebagai kekuasaan kehakiman, melekat pula fungsi kontrol terhadap eksekutif,” imbuh Atang.
Atang menilai perhelatan sidang MK menunjukkan orkestrasi yustisia yang menarik dan para saksi maupun ahli menyajikan catatan-catatan yang dapat menjadi magnitudo keyakinan hakim dalam memutus permohonan.
“Hakim MK sedang diuji komitmen kenegaraannya dalam rangka menegakkan konstitusi, bahkan hakim MK sedang ditonton kredibilitasnya dalam mengawal konstitusi yang selama ini banyak kalangan yang skeptis akibat turbulensi putusan batas usia capres dan cawapres sehingga terjadi degradasi kepercayaan publik terhadap MK,” tuturnya.
Lebih lanjut, Atang menyoroti dalil permohonan sengketa pilpres perihal kedudukan legal pencalonan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut dia, dalam persidangan dapat terlihat bahwa putusan MK yang melandasi pencalonan Prabowo-Gibran, yakni Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bisa langsung diberlakukan karena harus ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan KPU (PKPU).
“Berbeda jika putusan MK hanya bersifat menghapus atau membatalkan norma, bisa langsung berlaku tanpa harus mengubah atau mengganti peraturan (self executing),” ucap Atang.
Dalil permohonan tersebut, kata dia, bisa jadi terbukti karena KPU seharusnya melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap PKPU Nomor 19 Tahun 2023 yang digunakan untuk verifikasi pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, lanjut dia, KPU pernah berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang menyarankan agar berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Jika tidak, dianggap melanggar aspek formal pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Sebagai catatan, MK pernah menyatakan inkonstitusional bersyarat jika perumusan undang-undang tidak memperhatikan aspek formal pembentukannya (putusan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja),” kata Atang.
Di samping itu, dia meyakini bahwa MK bisa berwenang mengadili dalil-dalil permohonan dalam sengketa pilpres kali ini jika memang terbukti ada stagnasi dalam skema sistem keadilan pemilu (electoral justice).
“Bahwa Undang-Undang Pemilu telah membagi habis penanganan pelanggaran terhadap organ-organ seperti KPU, Bawaslu, Gakkumdu, DKPP, bahkan peradilan TUN,” ucapnya.
Namun, jika terjadi stagnasi dalam skema electoral justice, kata Atang, MK dapat mengambil alih kewenangan tersebut dalam kapasitasnya sebagai penjaga konstitusi.
“Apalagi, MK bukanlah lembaga peradilan tingkat banding,” ucap Atang.