Putusan MA: Karpet Merah untuk Kaesang Pangarep, Murka Pakar Hukum
Jakarta – Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah aturan penghitungan usia bagi calon kepala daerah disambut kecaman keras dari pakar hukum tata negara. Putusan tersebut dianggap sebagai upaya untuk memuluskan langkah Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang belum memenuhi syarat usia untuk maju dalam kontestasi politik.
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu baru berusia 29 tahun, di bawah batas usia minimal 30 tahun yang sebelumnya ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Namun, setelah putusan MA, usia bakal calon kepala daerah akan dihitung saat calon tersebut dilantik, sehingga membuka jalan bagi Kaesang untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Jakarta yang akan datang.
“Putusan MA ini tidak lain adalah karpet merah bagi Kaesang Pangarep untuk berkontestasi dalam politik elektoral. Ini akan berdampak buruk bagi demokrasi kita,” kata Herdiansyah Hamzah Castro, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, saat dihubungi pada Minggu (2/6/2024).
Castro khawatir putusan MA tersebut akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum dan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Ia menilai putusan tersebut dibuat dengan tergesa-gesa dan tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang kuat.
“Ini semacam desain untuk meloloskan Kaesang. Caranya sama dengan yang dilakukan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90 tentang batas usia capres dan cawapres,” ujar Castro.
Putusan MK tersebut memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, untuk maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pemilu 2019, meski saat itu ia belum berusia 40 tahun. Putusan tersebut juga dinilai terkesan dipaksakan untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu.
Castro meyakini bahwa putusan MA yang terbaru juga bertujuan untuk memuluskan jalan Kaesang menuju kursi Gubernur Jakarta. Ia men指摘 urut-urutan waktu, cara memutus, dan kepentingan yang melatarbelakangi putusan tersebut.
“Ini jelas ditujukan untuk Kaesang,” tegas Castro.
Kekhawatiran Castro diamini oleh pakar hukum tata negara lainnya, Fachri Ali, dari Universitas Gadjah Mada. Menurut Ali, putusan MA tersebut berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
“Batas usia untuk calon kepala daerah ditetapkan dengan mempertimbangkan kematangan dan pengalaman yang diperlukan untuk memimpin suatu daerah. Dengan mengubah aturan ini, kita justru menurunkan standar kepemimpinan,” kata Ali.
Ali juga mengkritik putusan MA yang diambil dalam waktu singkat, hanya dalam tiga hari. Ia menilai putusan tersebut tidak melalui proses pertimbangan yang matang dan komprehensif.
“Putusan ini berdampak pada muruah MA sebagai lembaga peradilan tertinggi. Publik akan memandang MA sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai lembaga yang menegakkan keadilan,” imbuh Ali.
Putusan MA tersebut juga mendapat sorotan keras dari Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana, yang mengajukan permohonan pengujian PKPU Nomor 9 Tahun 2020 ke MA. Sabana menilai putusan MA mengabaikan prinsip kesetaraan dan menimbulkan diskriminasi terhadap calon kepala daerah yang lebih muda.
“Kami mengajukan permohonan pengujian PKPU karena kami yakin bahwa batas usia yang ditetapkan tidak diskriminatif dan untuk kepentingan seluruh calon kepala daerah,” kata Sabana.
Ia menyesalkan putusan MA yang justru berlawanan dengan harapannya dan membuka celah bagi munculnya pemimpin yang belum memiliki pengalaman dan kematangan yang cukup.
“Ini bukan persoalan pribadi atau politik, tetapi tentang martabat dan keadilan dalam proses demokrasi kita,” pungkas Sabana.