Suratsuara.com – Ismail al-Ghoul, telah dibebaskan setelah ditangkap di sekitar Rumah Sakit al-Shifa Kota Gaza dan ditahan selama 12 jam oleh tentara Israel. Dia mengaku disiksa saat ditahan.
Al-Ghoul tiba di Rumah Sakit al-Shifa pada Senin (18/3/2024) pagi bersama krunya dan reporter lainnya untuk meliput serangan keempat tentara Israel ke rumah sakit tersebut. Rumah sakit itu menampung ribuan warga sipil yang terjebak, termasuk staf medis, pasien, dan keluarga pengungsi.
Saksi mata mengatakan, wartawan Al-Jazeeraitu diseret pasukan Israel, yang juga menghancurkan kendaraan penyiaran kru berita yang ada di lokasi.
Al-Ghoul mengatakan kepada Al Jazeera setelah pembebasannya bahwa pasukan Israel menghancurkan peralatan media dan menangkap jurnalis yang berkumpul di sebuah ruangan yang digunakan tim media. Dia mengatakan, para jurnalis ditelanjangi dan dipaksa tengkurap dengan mata ditutup dan tangan diikat.
Tentara Israel melepaskan tembakan untuk menakuti mereka jika ada gerakan, kata al-Ghoul. Dia menambahkan, dirinya ia telah mendengar beberapa rekannya telah dibebaskan, namun ia tidak memiliki informasi mengenai keberadaan mereka.
Sudah 95 jurnalis dan kru media tewas
Sejak 7 Oktober 2023, saat Hamas menyerang Israel, sampai dengan 6 Maret 2024, setidaknya 32.000 orang telah tewas dan 95 di antaranya merupakan jurnalis atau kru media. Dari total jurnalis dan kru media yang tewas itu, Committee to Protect Journalists (CPJ) mengonfirmasi bahwa 90 di antaranya dari Palestina, dua dari Israel, dan tiga dari Lebanon.
Sebanyak 16 jurnalis lain dilaporkan luka-luka, empat jurnalis dikabarkan hilang, dan 25 jurnalis ditahan. Selain itu, para jurnalis juga banyak menjadi target ancaman, serangan siber, dan sensor. Tidak hanya jurnalis, keluarga-keluarga para jurnalis ini juga banyak dilaporkan menjadi korban pembunuhan.
Para jurnalis di Gaza harus selalu menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka sedang meliput konflik di sana akibat serangan militer Israel, adanya gangguan komunikasi, kekurangan pasokan, dan pemadaman listrik.
Sayangnya, perlindungan terhadap jurnalis yang bertugas di Gaza masih sangat minim. Pada Oktober, contohnya, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengabarkan kepada Reuters dan Agence France Presse (AFP) melalui sebuah surat bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan para jurnalis yang ada di Gaza.
Pernyataan IDF itu merupakan respons dari permintaan Reuters dan AFP untuk jaminan bahwa jurnalis mereka di Gaza tidak akan menjadi sasaran serangan Israel.
“IDF menargetkan semua aktivitas militer Hamas di seluruh Gaza,” kata IDF. Pernyataan itu menambahkan, Hamas sengaja menempatkan operasi militer “di sekitar jurnalis dan warga sipil”.
IDF juga mencatat bahwa serangan berintensitas tinggi terhadap Hamas dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan di sekitarnya. IDF juga menambahkan bahwa roket Hamas kemungkinan dapat salah sasaran dan membunuh orang-orang di Gaza.
“Dalam situasi seperti ini, kami tidak dapat menjamin keselamatan karyawan Anda, dan sangat mendesak Anda untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan demi keselamatan mereka,” demikian bunyi pernyataan IDF.
“Situasi di lapangan sangat buruk, dan keengganan IDF untuk memberikan jaminan mengenai keselamatan kru kami mengancam kemampuan mereka untuk menyampaikan berita tentang konflik ini tanpa rasa takut terluka atau terbunuh,” kata Reuters dalam sebuah pernyataan menanggapi surat IDF.
Direktur Berita Global AFP, Phil Chetwynd, mengatakan, organisasi beritanya telah menerima surat yang sama.
“Kita berada dalam posisi yang sangat berbahaya dan penting bagi dunia untuk memahami bahwa ada tim jurnalis yang bekerja dalam kondisi yang sangat berbahaya,” kata Chetwynd.
Maraknya kekerasan menargetkan jurnalis turut mendapat kecaman dari para ahli hak asasi manusia. Para ahli menekankan pentingnya hak atas informasi sebagai “hak untuk bertahan hidup” selama masa konflik.
Menurut mereka, informasi dapat menjadi sandaran kehidupan warga sipil. Demikian dalam hal ini, jurnalis memainkan “peran yang sangat diperlukan” sebagai sumber informasi yang penting, pembela hak asasi manusia, dan saksi kekejaman.
“Jurnalis berhak mendapatkan perlindungan sebagai warga sipil berdasarkan hukum humaniter internasional. Serangan yang ditargetkan dan pembunuhan jurnalis adalah kejahatan perang,” para ahli memperingatkan.
Para ahli kemudian juga meminta Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk memberikan “perhatian khusus” terhadap pola serangan yang berbahaya dan impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis.
Menjelang akhir Februari lalu, lebih dari 30 perusahaan media telah menandatangani sebuah surat terbuka yang menyatakan solidaritas dengan jurnalis yang bekerja di Gaza. Bersamaan dengan surat itu juga mereka menyerukan perlindungan serta kebebasan untuk para jurnalis dalam meliput konflik.
Surat tersebut yang dikoordinasikan oleh CPJ telah ditandatangani beberapa kantor berita global, seperti AFP, AP dan Reuters, serta media terkemuka lainnya termasuk Guardian, New York Times, BBC News, CNN, ABC News, dan KORE.
“Selama hampir lima bulan, jurnalis dan pekerja media di Gaza-–yang merupakan satu-satunya sumber pemberitaan lapangan dari wilayah Palestina–bekerja dalam kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya,” isi surat itu.
Surat yang juga ditandatangani oleh Asosiasi Penyiaran Internasional dan Asosiasi Surat Kabar dan Penerbit Berita Dunia (WAN-IFRA) itu turut menyatakan bahwa “Jurnalis adalah warga sipil dan pemerintah Israel harus melindungi jurnalis sebagai non-kombatan menurut hukum internasional.”
“Mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran apa pun terhadap perlindungan jangka panjang tersebut harus dimintai pertanggungjawaban,” bunyi surat itu.