MA Batalkan Aturan Batas Usia Pilkada, Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Jakarta – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, terkait aturan batas usia dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 9 Tahun 2020. Keputusan ini membatalkan mekanisme perhitungan batas usia yang sebelumnya berdasarkan waktu penetapan calon, menjadi waktu pelantikan.
Putusan MA yang teregister dengan Nomor 23 P/HUM/2024 tersebut menuai reaksi dari sejumlah pakar hukum. Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai putusan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Titi, status calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak hanya melekat saat pelantikan, tetapi juga sejak ditetapkan sebagai kandidat oleh KPU. Hal ini sejalan dengan definisi calon dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, yang merujuk pada peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
“Dalam kedudukannya sebagai peserta pemilihan, seseorang harus sudah memenuhi syarat usia minimal,” tegas Titi.
Titi menguraikan bahwa status calon melekat sejak penetapan sebagai kandidat, melalui masa kampanye, hingga pengucapan sumpah jabatan. Oleh karena itu, ia mempertanyakan landasan hukum dari putusan MA yang mengubah mekanisme perhitungan batas usia.
“Peserta pemilihan di pilkada sudah dimulai sejak ditetapkan sebagai pasangan calon, berkampanye, sampai dengan dilakukannya pengucapan sumpah dan janji calon terpilih,” kata Titi.
Titi tidak menampik kemungkinan adanya aspek politis di balik putusan MA. Namun, ia menekankan bahwa seluruh pihak harus konsisten dalam menegakkan hukum. “Semua pihak mestinya konsisten dalam mematuhi proses pencalonan yang sudah berlangsung dan tidak boleh ada persyaratan yang berlaku surut,” ujarnya.
Putusan MA ini juga memicu kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kewenangan di tingkat KPU. Pasalnya, dengan perhitungan batas usia berdasarkan waktu pelantikan, KPU berpotensi menetapkan calon yang belum memenuhi syarat saat pendaftaran.
“Ini membuka celah bagi calon yang tidak memenuhi syarat untuk lolos verifikasi KPU dan menjadi peserta pilkada. Ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan,” ungkap pakar hukum tata negara, Denny Indrayana.
Para pakar hukum mendesak KPU untuk mengambil langkah cepat guna mengatasi ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh putusan MA. Mereka juga meminta KPU untuk mempertimbangkan kemungkinan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
“KPU harus berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk para ahli hukum dan perwakilan partai politik, untuk mencari solusi yang tepat dalam merespons putusan MA,” kata peneliti hukum dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) UGM, Zaenal Arifin.
Sementara itu, pihak Partai Garuda menyambut positif putusan MA. Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, menilai keputusan ini sebagai kemenangan bagi masyarakat yang ingin memastikan pilkada yang adil dan transparan.
“Putusan ini mengakhiri praktik perhitungan batas usia yang diskriminatif. Semua calon harus memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi peserta pilkada, tanpa dihalangi oleh persyaratan yang tidak adil,” ungkap Sabana.
Namun, para pakar hukum memperingatkan bahwa putusan MA ini harus disikapi dengan hati-hati untuk menghindari potensi manipulasi dan penyalahgunaan kewenangan. Mereka juga mendesak semua pihak untuk mengawal proses pilkada yang bersih dan berintegritas.