Suratsuara.com – Pemilihan umum adalah salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur dan melaksanakan proses pemilu. Pada pemilu 2019 dan 2024, terdapat perbandingan yang menarik terkait jumlah pemilihan ulang yang diungkap oleh KPU.
Menurut data yang dirilis oleh KPU, terjadi perbedaan signifikan dalam jumlah pemilihan ulang antara pemilu 2019 dan 2024. Pada pemilu 2019, jumlah pemilihan ulang mencapai angka tertentu, sementara pada pemilu 2024, angka tersebut mengalami peningkatan atau penurunan.
Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab perbedaan ini adalah perkembangan teknologi dalam proses pemilihan umum. Pada pemilu 2024, penggunaan teknologi informasi dan aplikasi digital mungkin telah meningkat, sehingga meminimalkan kesalahan atau kekurangan dalam proses pemungutan suara.
Selain itu, tingkat partisipasi masyarakat juga dapat memengaruhi jumlah pemilihan ulang. Pada pemilu 2024, mungkin terjadi peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya pemilihan ulang.
Tentu saja, terdapat berbagai faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam menganalisis perbandingan ini, seperti kondisi politik dan sosial pada saat pemilihan umum dilaksanakan, perubahan regulasi yang memengaruhi proses pemilu, dan lain sebagainya.
Melalui perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum merupakan proses dinamis yang terus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mengelola pemilu terus berupaya untuk meningkatkan kualitas dan integritas proses pemilihan umum guna menciptakan pesta demokrasi yang berkualitas dan akuntabel bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari mencatat, terdapat sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) hingga Pemungutan Suara Lanjutan (PSL). Hal ini baik di dalam dan luar negeri.
“Pelaksanaan pemungutan suara berlangsung di 820.161 TPS di dalam negeri dan 2.538 TPSLN/KSK/POS di luar negeri,” kata Hasyim dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, Jakarta, Senin (25/3/2024).
“Dengan jumlah pemilih di dalam negeri sebanyak 203.056.748 dan jumlah pemilih di luar negeri sebanyak 1.365.433,” sambungnya.
Kemudian, ia pun sempat merinci jumlah pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 yang melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan lainnya.
“Pemilu 2019, jumlah PSU 1.114 TPS, PSL 2.293 TPS, PSS 384 TPS. Total: 3.791 TPS (0,48 persen). Daerah yang melakukan PSU, PSL, dan PSS pada 2019 tersebar di 34 Provinsi, 280 Kabupaten/Kota, 592 Kecamatan, dan 770 desa,” ujarnya.
Kemudian, untuk jumlah Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada Pemilu 2024 sebanyak 738 TPS, kemudian untuk Pemilihan Suara Lanjutan (PSL) 117 TPS serta Pemilihan Suara Susulan (PSS) 258 TPS.
“Total: 1.113 TPS (0,13 persen). Daerah yang melakukan PSU, PSL, dan PSS tersebar di 38 Provinsi, 225 Kabupaten/Kota, 427 Kecamatan dan 561 Desa/Kelurahan yang dilaksanakan mulai 15-24 Februari 2024,” pungkasnya.
Sebelumnya, Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja (raker) bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Kegiatan ini terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
“Materi hari ini, tentu meminta laporan dari penyelenggara tentang proses dan pelaksanaann pemilu pada tanggal 14 Februari 2024, yang pertama,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDIP, Junimart Girsang kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/3).
Selanjutnya, dalam rapat tersebut juga pihaknya akan mengkritisi beberapa hal yang menjadi viral di masyarakat seperti Sistem Rekapitulasi (Sirekap).
“Yang kedua, tentang bagaimana para penyelenggara di daerah itu kemudian tidak bisa bersinergi antara KPU dan Bawaslu contohnya ketika Bawaslu meminta C1 Pemilu, KPU tidak bisa memberikan, tapi tidak untuk semua daerah,” jelasnya.
Selain itu, diantara penyelenggara Pemilu disebutnya tidak mempunyai sinergi seperti sesama komisioner KPU.
“Contoh ketika anggota komisioner KPU di daerah misalnya Ketua KPU-nya tidak memberikan C1 yang diminta. Mungkin yang paling menarik adalah bagaimana KPU tidak bisa memberikan jawaban tentang masuknya Sirekap yang ternyata error dari daerah, walaupun mereka mengatakan bahwa ada penyalah pengambilan foto itu masuknya Sirekap,” ungkapnya.
Selain itu, terkait dengan Sirekap disebutnya membuat sebagian besar masyarakat gelisah. Apalagi, ketika hasil dalam Sirekap itu bukan mengalami kenaikan dan justru malah terjadi penurunan.
“Ini kenapa turun demikian, mengapa aturan dari KPU membuat, maka untuk mengalihkan perhatian bagaimana, kita tunggu nanti KPU untuk memberikan jawaban. Mungkin Bawaslu juga kita kritisi, karena kerja-kerja Panwas di daerah itu, yang mereka tidak menerapkan SOP sebagaimana mustinya,” paparnya.
“Contoh misalnya, Panwas itu ketika datang dlm masa kampanye, mereka itu menakut nakuti, para Caleg,” tambahnya.
Terakhir, menurutnya berdasarkan fakta di lapangan ketika para Calon Legislatif (Caleg) meminta Form C1 kepada Panwas di Kecamatan. Mereka justru dimintai dana untuk mendapatkan C1 tersebut.
“Ini sudah mengarah kepada transaksional dan kita bukti itu semua, silahkan nanti Bawaslu bagaimana mereka. Apakah masih mempertahankan Panwas yang kita sekarang dalam rangka Pilkada nanti. Kalau saya mengatakan, itu harus kembali dan selektif untuk mendapatkan hasil Pilkada yang betul-betul berintegritas, saya kira itu,” pungkasnya.