Suratsuara.com – Ketika membicarakan Ka’bah, bangunan suci yang menjadi pusat ibadah umat Islam di Mekah, Saudi Arabia, kita sering kali terpesona oleh keindahannya, sejarahnya yang kaya, dan nilai-nilai spiritual yang tercermin dalam setiap sudutnya. Namun, ada satu misteri yang jarang diperbincangkan, yaitu keberadaan ceret yang bergelantungan di dalam Kakbah. Pertanyaan yang sering muncul adalah: untuk apa ceret itu?
Ceret tersebut sebenarnya adalah bagian dari sejarah panjang Ka’bah dan memiliki makna simbolis yang mendalam bagi umat Islam. Dalam kajian sejarah dan literatur Islam, ceret ini dikenal sebagai “Hajar Aswad” atau Batu Hitam, yang merupakan salah satu elemen penting dalam ritual Tawaf yang dilakukan oleh jutaan jamaah setiap tahunnya.
Salah satu teori yang populer adalah bahwa Batu Hitam ini adalah batu yang turun dari surga, dan menurut hadis Nabi Muhammad SAW, batu ini dulunya adalah putih murni namun menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Namun, lebih dari sekadar cerita literal, Batu Hitam memiliki makna yang lebih dalam dalam konteks spiritual Islam.
Ceret tersebut merupakan simbol kesatuan umat Islam dari berbagai suku, warna kulit, dan budaya yang berbeda. Saat umat Islam melakukan Tawaf, mereka bergerak mengelilingi Ka’bah dalam satu arah yang sama, tanpa memandang perbedaan apa pun di antara mereka. Ini mencerminkan persatuan, solidaritas, dan kesetiaan umat Islam terhadap ajaran Allah SWT.
Selain itu, keberadaan Batu Hitam juga mengingatkan umat Islam akan kisah-kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS, yang membangun Ka’bah sebagai rumah ibadah pertama bagi umat manusia. Hal ini mengajarkan nilai-nilai ketekunan, pengabdian, dan kepatuhan terhadap perintah Allah.
Tidak hanya itu, Batu Hitam juga menjadi tanda orientasi dalam ibadah umat Islam. Saat melaksanakan salat, umat Islam dari seluruh dunia menghadap arah Ka’bah sebagai pusat spiritual mereka, dan Batu Hitam menjadi salah satu penanda yang penting dalam menentukan arah tersebut.
Dengan demikian, ceret bergelantungan di dalam Ka’bah bukan hanya sekadar objek fisik, melainkan simbol yang sarat makna dalam konteks keagamaan dan spiritual umat Islam. Keberadaannya mengajarkan nilai-nilai kesatuan, ketekunan, dan pengabdian yang menjadi pondasi utama dalam praktik ibadah umat Islam di seluruh dunia.
Dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai Batu Hitam dan simbolisme di baliknya, diharapkan umat Islam dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang mendalam dalam perjalanan spiritual mereka, serta menjaga persatuan dan solidaritas di tengah kompleksitas dunia modern yang penuh dengan perbedaan.
Semua orang muslim pernah melihat Kakbah. Yang beruntung bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri saat melakukan ibadah haji atau umroh.
Kakbah yang dikenal setiap Muslim adalah bangunan segi empat di tengah Masjidil Haram. Kakbah diselimut kain penutup hitam atau kiswah. Kakbah adalah arah menghadap setiap muslim di seluruh penjuru dunia ketika melakukan shalat.
Benda-benda apakah yang ada di dalam Kabah? Bagaimana dinding dan interiornya? Bagaimana susunan arsitekturnya? Adakah kuburan atau benda-benda sejarah disimpan di situ?
Semuanya hanya bisa menduga. Informasi dan ceritanya hanya berdasarkan “katanya, katanya?”. Namun tak ada yang yakin seyakin-yakinnya, karena dari 1,6 miliar muslim sedunia hanya segelintir saja yang bisa masuk ke dalam Kabah.
Hanya Raja-Raja Arab Saudi, keluarga kerajaan dan pejabat negara yang bisa masuk ke dalam Kabah saat dicuci dan penutupnya diganti.
Kakbah dicuci dua kali dalam satu tahun, yakni pada tanggal 15 Sha`ban (bulan sebelum bulan puasa, Ramadhan) dan pada pertengahan Muharam, yakni bulan setelah Zulhijah dimana umat Islam menunaikan rukun ke lima Islam untuk naik haji.
Ritual pencucian Kakbah dimulai dengan salat sunnah dua rakaat di dalam. Saat berada di dalam Kakbah, jemaah boleh salat menghadap ke mana saja.
Bagian dalamnya lalu dibersihkan dengan kain putih yang dibasahi air mawar, wewangian khas Arab beraroma kayu oud dan parfum beraroma musk, yaitu minyak kelenjar rusa.
Air zamzam dipercikkan ke lantai Kakbah kemudian lantai dipel dengan tangan kosong dan daun kurma.
Mantan Menteri Agama Tarmizi Taher yang sudah 13 kali mendapat kesempatan memasuki Kabah, pernah mengatakan bahwa dinding dalam Kabah, atap, lantai, serta tiga tiangnya biasa saja seperti dinding batu lainnya.
“Ada ceret dan teko di Ka’bah. Itu pemberian raja, khalifah, dan sultan,” ungkapnya.
Sisi bagian timur Kakbah tingginya l4 meter, sementara sisi barat dan selatan l2,11 meter dan 11,28 meter dari sisi utara. Lantai bagian dalam dilapisi keramik berwarna, sementara atapnya ditunjang tiga pilar kayu, masing-masing berdiameter 44 cm.
Struktur atap terdiri atas dua lapisan, bagian atas dan bawah, sementara dinding bagian dalam ditutup dengan layar terbuat dari beludru hijau yang diganti tiap tiga tahun sekali.
Pada atap bagian teratas terdapat ventilasi dengan panjang 127 cm dan lebar l04 cm untuk memberikan kesempatan bagi cahaya matahari masuk. Ventilasi ditutup dengan kaca penguat yang dibuka saat acara pencucian.
Pintu Kakbah yang berada pada 225 cm di atas permukaan tanah, tingginya 310 cm, lebar 40 cm dan panjang 190 cm, terbuat dari kayu yang dilapisi 280 kg emas murni
Pada dinding sebelah Barat yang berhadapan dengan pintu Kakbah digantungkan sembilan pigura yang terbuat dari marmer dan bertuliskan nama-nama khalifah yang telah memperbaiki dan memperbarui Kakbah yang agung. Kesemuanya itu tertulis setelah Abad 6H.
Sisi Kakbah yang lain dilapisi marmer putih setinggi dua meter dan di atasnya ditutupi dengan hordeng warna merah dari kain sutera yang bertuliskan “Syahadatain” dan Asma ul-Husna dalam bentuk angka 8 atau 7 Arab berselang-seling. Kaligrafi tersebut hadiah dari Raja Fahd.
Diantara tiga tiang di dalam Kakbah ada tempat untuk meletakkan barang yang terbuat dari perak murni untuk menyimpan barang, seperti antara lain : teko-teko , ceret, pajangan , dan barang-barang bersejarah lainnya yang terbuat dari emas dan perak yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Barang-barang tersebut merupakan pemberian raja, khalifah, dan sultan.
Kain penutup Kakbah seharga Rp50 miliar ini berukuran panjang 14 meter dan lebar 47 meter. Beratnya tak tanggung-tanggung, mencapai 650 kilogram. Ada lima bagian kiswah, yaitu empat bagian yang menutupi keempat sisi Kakbah dan satu sisinya menutup pintu Kakbah.
Biasanya kiswah dibuat di Mesir dan India, dan diberikan kepada penguasa Saudi sebagai hadiah.
Di balik kiswah berwarna hitam terdapat kain putih yang disebut Bithana Kiswah. Tujuannya untuk menyerap uap dari dinding Ka`bah dan mencegah panas terserap dari kain kiswah hitam. Tak hanya itu, kain berwarna putih ini juga dapat mencegah dinding Ka`bah retak.
Jika kita menilik sejarahnya, pada masa Nabi Muhammad SAW, Rasulullah biasa mempersembahkan kiswah Al-washail, sekaligus menyucikan Ka`bah untuk pertama kalinya.
Cara ini kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaurrasyidin seperti Umar Bin Al-Khatab dan Utsman Bin Affan serta beberapa khalifah Bani Umayyah.
Sekarang, banyak jemaah yang berusaha untuk menggunting sepotong kain penutup Kakbah itu untuk berbagai alasan, minimal sebagai souvenir dan kenang-kenangan.
Mereka membawa gunting saat tawaf, ketika berhasil mendekati Kakbah, mereka mengguntingnya. Lalu menyelipkan potongan itu dibalik kain ihram. Tukang gunting kiswah umumnya berasal dari Iran, Pakistan atau negara-negara Afrika.
“Yang dari Indonesia juga ada,” kata Wakil Amirul Haj Abdul Mukti.