Jumat, November 22, 2024
BerandaPolitikMahkamah Konstitusi Dan Kewenangannya Dalam Menangani Pelanggaran Administratif Pemilu

Mahkamah Konstitusi Dan Kewenangannya Dalam Menangani Pelanggaran Administratif Pemilu

- Advertisement -

Suratsuara.com – Pemilihan umum adalah fondasi demokrasi di mana suara rakyat menjadi kekuatan yang mendasar dalam menentukan arah dan kepemimpinan negara. Namun, seperti halnya sistem apapun, pemilu juga rentan terhadap pelanggaran, baik itu dari peserta pemilu maupun pihak terkait lainnya. Dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga yang memiliki peran penting dalam menangani berbagai sengketa terkait pemilihan umum.

Namun, perlu dipahami bahwa MK memiliki kewenangan yang terbatas dalam menangani pelanggaran administratif pemilu. MK lebih fokus pada aspek konstitusionalitas, yaitu apakah proses pemilihan umum itu sendiri telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini berbeda dengan lembaga pengawas pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki kewenangan lebih luas dalam menangani pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif.

Meskipun demikian, bukan berarti MK tidak memiliki peran sama sekali dalam menangani pelanggaran pemilu. MK dapat memeriksa dan mengadili sengketa yang terkait dengan proses pemilihan umum jika sengketa tersebut berkaitan dengan aspek konstitusionalitas. Contohnya adalah ketika terdapat gugatan terhadap hasil pemilu karena dugaan pelanggaran dalam proses pemilihan, seperti kecurangan dalam penghitungan suara atau pemalsuan dokumen.

Pentingnya membedakan kewenangan antara MK dengan lembaga pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu adalah agar proses penanganan pelanggaran pemilu dapat berjalan efisien dan sesuai dengan hukum yang berlaku. KPU dan Bawaslu bertanggung jawab langsung dalam pengawasan dan penegakan aturan selama proses pemilihan umum berlangsung, sementara MK hadir sebagai lembaga penegak hukum yang mengawasi aspek konstitusionalitas dalam kasus-kasus tertentu.

Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, Abdul Chair Ramadhan mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif Pemilu. Dia menyebut MK hanya berwenang menangani perhitungan suara dengan pendekatan kuantitatif.

“Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap hasil penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili Pelanggaran Administratif Pemilu, utamanya secara TSM yang notabene pendekatannya adalah kualitatif,” kata Abdul melalui keterangan tertulis, Jumat (29/3/2024).

Berkaca dari permohonan kedua pemohon yakni paslon nomor urut 1 dan 3, Adbul mengatakan, yang menjadi pokok petitum adalah menyangkut dugaan adanya pelanggaran administrasi Pemilu, utamanya secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Dia menegaskan pelanggaran administrasi pemilu termasuk pada TSM merupakan ranah dari Badan Pengawas Pemilu (Bawasalu)

“Namun dalil tersebut harus memiliki kualitas untuk kemudian berkorespondensi dengan perolehan suara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam hal ini, maka penentuannya adalah hubungan sebab-akibat (kausalitas). Berhenti sampai di sini, perlu ditegaskan bahwa Pelanggaran Administrasi Pemilu dan termasuk yang terjadi secara TSM adalah mutlak kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),” ujarnya.

- Advertisement -

Abdul menjelaskan pelanggaran administratif Pemilu dengan segala bentuknya berbeda dengan perselisihan hasil penghitungan suara yang menjadi domain Mahkamah Konstitusi. Dia menerangkan, perselisihan terhadap hasil perolehan suara tentu pendekatannya bukan kualitatif, melainkan matematis (kuantitatif).

“Guyonan yang menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai “Mahkamah Kalkulator” ada benarnya, dan memang pokok gugatannya harus hitung-hitungan. Demikian itu harus mampu dibuktikan di depan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

“Pertama, terdapat permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua, tidak terdapat permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.

Abdul memaparkan harus ada laporan dugaan pelanggaran administatif Pemilu terlebih dahulu yang diajukan kepada Bawasalu sesuai rumusan Pasal 12 Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022, jika tidak, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum. Gugatan itu diajukan sebelum ditetapkannya hasil perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

- Advertisement -

“Kedua kondisi yang berbeda tersebut menimbulkan konsekuensi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022. Jika ada permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sepanjang ada Laporan dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu kepada Bawaslu, maka Bawaslu harus menghentikan laporan tersebut dan disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam sidang perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya, jika tidak ada permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, padahal sebelumnya telah ada Laporan dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu yang disampaikan kepada Bawaslu, maka Bawaslu, memeriksa, mengkaji, dan memutus terhadap Laporan tersebut,” ucapnya.

Abdul menyampaikan baik kubu 01 maupun 03 sebelumnya yidak menyapaikan laporan dugaan pelanggaran administratif Pemilu ke Bawasalu. Sehingga, dugaan pelanggaran administratif Pemilu yang digugat ke Mahkamah Konstitusi telah kehilangan objeknya.

“Pada perkara a quo, kedua Pemohon ternyata tidak menyampaikan Laporan dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu kepada Bawaslu. Hal ini berdampak bahwa dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu dianggap tidak pernah ada. Dikatakan demikian walaupun ada permohonan PHPU-Pres kepada Mahkamah Konstitusi, namun tidak ada Laporan dugaan pelanggaran administratif kepada Bawaslu, maka dugaan pelanggaran administratif Pemilu telah kehilangan objeknya,” ucapnya.

“Menjadi lain halnya jika Pemohon tidak mengajukan PHPU-Pres, akan tetapi membawa perkara tersebut kepada Bawaslu. Dalam hal ini Bawaslu berdasarkan kompetensinya dapat merekomendasikan pembatalan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atas dasar putusan Bawaslu tentang Pelanggaran Administratif Pemilu secara TSM kepada KPU. KPU yang akan memutuskan perihal diskualifikasi tersebut,” imbuhnya.

- Advertisement -
Advertisement
RELATED ARTICLES

Tetap Terhubung

199,856FansSuka
215,976PengikutMengikuti
152,458PengikutMengikuti
284,453PelangganBerlangganan

Most Popular