Suratsuara.com – Sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menjadi sorotan publik karena pentingnya keputusan yang diambil terkait nasib kepemimpinan negara. Namun, sidang yang berlangsung baru-baru ini menarik perhatian bukan hanya karena masalah politiknya, tetapi juga karena intervensi yang dilakukan oleh Tim Hukum AMIN yang membawa ayat Al-Quran dalam argumen hukum mereka.
Kontroversi ini mencuat ketika salah satu anggota Tim Hukum AMIN menyebutkan ayat Al-Quran dalam pembelaannya terkait sengketa pilpres yang sedang berlangsung. Bagi sebagian orang, penggunaan ayat suci tersebut dianggap sebagai strategi untuk memperoleh simpati dari publik atau memengaruhi keputusan hakim. Namun, bagi pihak lain, hal ini dipandang sebagai bagian dari kebebasan beragama dan berbicara.
Menyikapi hal ini, ada dua sudut pandang yang dapat dianalisis, yaitu dari segi hukum dan keagamaan. Secara hukum, penggunaan ayat Al-Quran dalam sidang pengadilan memiliki landasan yang jelas dalam kebebasan beragama dan berbicara. Selama ayat tersebut digunakan dengan tujuan yang sah dan tidak melanggar aturan hukum, penggunaannya seharusnya diperbolehkan.
Namun, perlu diingat bahwa MK sebagai lembaga peradilan konstitusi harus tetap menjaga netralitas dan objektivitasnya. Keputusan yang diambil harus didasarkan pada hukum positif dan pertimbangan yang objektif, bukan semata-mata dipengaruhi oleh argumen yang bersifat religius.
Dari sudut pandang keagamaan, penggunaan ayat Al-Quran dalam konteks sidang hukum dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk mengaitkan keputusan yang diambil dengan nilai-nilai moral dan etika yang dianggap berasal dari ajaran agama. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan antara urusan dunia dan urusan akhirat, serta sejauh mana agama dapat dijadikan dasar argumen dalam ranah hukum.
Dalam konteks ini, penting bagi para pihak terkait, termasuk Tim Hukum AMIN, untuk mempertimbangkan dampak dan implikasi dari penggunaan ayat Al-Quran dalam sidang hukum. Penggunaan ayat suci haruslah disertai dengan pemahaman yang mendalam akan konteks hukum dan keadilan, serta tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.
Dengan demikian, kontroversi seputar penggunaan ayat Al-Quran dalam sidang sengketa pilpres di MK menjadi momentum untuk refleksi bersama tentang hubungan antara agama, hukum, dan keadilan dalam konteks negara hukum yang pluralis. Diperlukan dialog dan pemahaman yang lebih dalam untuk mencapai kesepahaman yang seimbang antara kebebasan beragama dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal.
Sebuah ayat suci Al-Quran dibacakan oleh Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin (AMIN) saat sidang sengketa Pilpres 2024. Surat tersebut dibacakan oleh Ketua Tim Hukum Nasional, AMIN Ari Yusuf Amir saat membuka pidato permohonannya ke hadapan majelis hakim Konstitusi.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan dan saksi-saksi di jalan Allah, meskipun kesaksian itu membebani diri sendiri, orang tua, atau saudara-saudaramu, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, Surat Annisa 135,” kata Ari di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Ari mengatakan, penggalan ayat dari kitab suci tersebut terpampang di kampus Harvard Amerika Serikat. Tepatnya di Fakultas Hukum.
Dia meyakini, hal itu dilakukan agar para lulusan dari fakultas tersebut bisa menjadi pengingat para akademisi soal konsekuensi hukum di mata Tuhan
“Bismillah kami sampaikan permohonan ini, kami bacakan ayat Quran yang dipasang di FH Universitas Harvard,” jelas Ari.
Diketahui, Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin sudah menyampaikan argumentasi permohonan dan petitumnya kepada pihak Hakim Konstitusi yang didengarkan pihak termohon dan terkait pada hari ini, Rabu 27 Maret 2024 pukul 08.00 WIB.
Saat ini sidang di MK dilanjutkan dengan pembacaan permohonan dari Tim Hukum Ganjar-Mahfud dan akan dimulai pada pukul pukul 13.00 WIB.
Tim Hukum dari Anies-Muhaimin (AMIN) Bambang Widjojanto menyampaikan petitum atau permohonan kepada hakim konstitusi terkait sidangsengketa pilpres 2024.
Pertama, dia meminta hakim konstitusi dapat membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang penetapan hasilpemilu 2024yang sudah dibacakan pada 20 Maret 2024.
“Kami minta Yang Mulia Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, yaitu menyatakan batal keputusan KPU tentang penetapanhasil pemilu 2024,” kata pria karib disapa BW ini saat sidang sengketa pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Selain itu,TimAMINjuga memohon agar para hakim konstitusi mendiskualifikasi pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai peserta pilpres 2024.
Jika permohonan tersebut dikabulkan, maka BW meminta hakim konstitusi dapat memerintahkan untuk dilakukannyaPemungutan Suara Ulang(PSU) yang jujur, adil, netral dan tanpa intervensi Presiden dan alat-alat negara seperti aparat penegak hukum.
“Memerintahkan kepada Presiden untuk bertindak netral dan tidak mobilisasi aparatur negara serta tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai alat untuk menguntungkan salah satu pasangan calon dalam pemungutan suara ulang,” ujar BW.
Terakhir, BW meminta agarGibran Rakabuming Rakadapat didiskualifikasi sebagai peserta pilpres 2024. Alasannya, Gibran tidak memenuhi syarat usia sebagai pasangan calon peserta pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.
“Kami berharap Yang Mulia Hakim Konstitusi dapat mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Jika berpendapat sebaliknya, mohon putusan yang adil,” tegas BW.