Suratsuara.com – Sidang sengketa pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi sorotan publik, terutama dalam konteks peran Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi. Dalam proses hukum yang transparan ini, nama Jokowi sering disebut dalam berbagai konteks terkait validitas hasil pemilu yang dipertanyakan. Di tengah sorotan dan perdebatan yang menghangat, istana menyatakan keterbukaan dalam melihat proses pembuktian yang berlangsung.
Pentingnya Sidang Sengketa Pemilu di MK
Sidang sengketa pemilu di MK merupakan bagian integral dari mekanisme demokrasi dan hukum yang ada di Indonesia. Setiap pihak yang merasa dirugikan atau meragukan hasil pemilu memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke MK guna mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Hal ini menunjukkan kedewasaan dan keberagaman dalam masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan konflik politik melalui jalur hukum yang telah ditetapkan.
Dalam sidang sengketa pemilu 2024, banyak pihak yang menyebut nama Jokowi terkait dengan berbagai aspek, mulai dari pengawasan pemilu hingga tanggung jawab sebagai kepala negara. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam konteks hukum, kehadiran nama Jokowi bukanlah menjadi fokus utama, melainkan substansi pembuktian terkait dengan keabsahan dan integritas proses pemilu itu sendiri.
Transparansi Proses Pembuktian
Istana, melalui pernyataan resminya, menegaskan pentingnya melihat proses pembuktian yang transparan dalam sidang sengketa pemilu di MK. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, dan kepentingan rakyat dalam menangani setiap permasalahan hukum yang berkaitan dengan pemilu.
Proses pembuktian yang transparan mencakup berbagai aspek, seperti keterbukaan dalam menghadirkan bukti-bukti, pendapat para ahli yang independen, dan pemenuhan standar hukum yang berlaku. Dengan demikian, keputusan yang diambil oleh MK dapat diterima secara luas oleh masyarakat sebagai wujud dari keadilan yang ditegakkan.
Tanggapan Jokowi dan Sikap Netralitas
Dalam menghadapi sidang sengketa pemilu, Presiden Jokowi menunjukkan sikap netralitas sebagai kepala negara. Beliau menekankan pentingnya proses hukum berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh konstitusi dan hukum yang berlaku. Sikap ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menghormati proses demokrasi dan institusi hukum yang ada.
Di tengah berbagai spekulasi dan opini publik, penting untuk tidak melupakan prinsip praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Sebagai warga negara yang dewasa secara politik, kita diingatkan untuk memahami bahwa keputusan akhir akan diambil oleh lembaga yang berwenang, yaitu MK, berdasarkan bukti-bukti dan hukum yang ada.
Staf Khusus Presiden Dini Purwono menanggapi soal nama Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang ikut diseret dalam sidang sengketa Pemlihan Umum 2024 (Pemilu 2024) di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menegaskan, sidang sengketa hasil Pemilu 2024 merupakan kewenangan MK.
“Terkait perselisihan hasil Pemilu 2024 sudah menjadi ranah Mahkamah Konstitusi. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah menyediakan mekanisme hukum dan jalur konstitusional yg dapat ditempuh oleh peserta Pemilu yg tidak menerima penetapan Pemilu oleh KPU,” kata Dini kepada wartawan, Kamis (28/3/2024).
Dia mengingatkan pihak-pihak terkait harus bisa membuktikkan tuduhan-tuduhan yang disampaikan dalam persidangan MK. Untuk itu, pihak Istana masih menunggu pembuktian atas tuduhan yang disampaikan persidangan.
“Dalam setiap upaya hukum dikenal dan berlaku asas umum bahwa siapa pun yang mendalilkan sesuatu wajib untuk membuktikan dalil-dalil atau tuduhan tersebut,” ucap dia.
“Jadi, kita lihat saja bagaimana nanti proses pembuktian di persidangan dan kita tunggu putusan MK,” sambung Dini.
Dini menuturkan hingga kini pemerintah belum berencana menyiapkan pembelaan. Menurut dia, pemerintah merasa tak perlu terlibat dalam sidang sengketa Pemilu 2024.
“Iya, pemerintah tidak melihat relevansi dalam hal ini karena Pemerintah bukan pihak dalam sengketa Pilpres dan karenanya tidak ada alasan untuk terlibat dalam persidangan MK,” jelas Dini.
Sebelumnya, Tim Hukum Nasional (THN) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Bambang Widjajanto menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) membiarkan para menterinya terlibat dalam kampanye pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Sebagai upaya untuk memenangkan kontestasi, Presiden Jokowi ternyata juga menggerakan atau setidak-tidaknya membiarkan beberapa anggota menteri kabinet terlibat dalam kampanye paslon 02 serta pejabat negara lainnya,” kata Bambang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu 27 Maret 2024.
Beberapa menteri yang disebut terlibat antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Erick Thohir, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Komunikasi Budi Arie Setiadi, dan Wakil Menteri Agraria Juli Antoni.
Mereka diduga melakukan berbagai kegiatan kampanye untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
Sementara itu, Anggota tim hukum Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail, mengungkapkan tiga skema nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Iklan
Hal itu Annisa sampaikan saat membacakan permohonan dalam sidang perdana sengketa pilpres 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu 27 Maret 2024.
“Pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan masif) yang dipermasalahkan dalam permohonan a quo adalah nepotisme yang melahirkan abuse of power terkait koordinasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo semata-mata demi memastikan agar paslon 2 (Prabowo-Gibran) memenangkan pilpres 2024 dalam satu putaran,” kata Annisa.
Annisa menjabarkan, skema nepotisme pertama yang dilakukan Presiden Jokowi yakni memastikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.
“Skema pertama, nepotisme yang dilakukan guna memastikan Gibran Rakabuming Raka memiliki dasar untuk maju sebagai kontestan dalam pilpres 2024 yang dimulai dengan dimajukannya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wali kota Surakarta,” terang dia.
Untuk meloloskan Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024, maka Presiden Jokowi melibatkan paman Gibran yang merupakan mantan Ketua Hakim MK yakni Anwar Usman.
“Lalu keikutsertaan Anwar Usman dalam perkara nomor 90 tahun 2023 sampai dengan digunakannya termohon untuk menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka yang mana akhirnya keduanya dinyatakan melanggar etika,” papar Annisa.
Kemudian, skema nepotisme kedua, mengatur agar pihak-pihak yang berada di lingkaran Presiden Jokowi memegang posisi penting yang berhubungan dengan pilpres 2024.
“Guna menyiapkan jaringan yang diperlukan untuk mengatur jalannya pilpres 2024 yang dimulai dengan dimajukannya orang-orang dekat Presiden Joko Widodo untuk memegang jabatan penting sehubungan dengan pelaksanaan pilpres 2024. Khususnya ratusan pejabat kepala daerah,” ujar Annisa.
Terakhir, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan pejabat desa hingga pusat serta memobilisasi bantuan sosial.
“Nepotisme yang dilakukan untuk memastikan agar paslon 02 memenangkan pilpres 2024 dalam satu putaran yang dilakukan dengan berbagai cara, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pejabat di berbagai lini mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa,” jelas dia.
“Yang kemudian dikombinasikan dengan politisasi bansos sebagaimana terlihat dari aspek waktu pembagian, aspek jumlah yang dibagikan, aspek pembagi bantuan sosial, dan tentunya aspek penerima bansos,” Annisa menambahkan.