Suratsuara.com – Istana Jakarta menjadi saksi penting dari tanda tangan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang baru saja diperbaharui. Perjanjian ini menandai langkah besar dalam kerjasama hukum antara dua negara tetangga yang memiliki hubungan sejarah dan ekonomi yang kuat.
Perjanjian ekstradisi merupakan instrumen hukum yang memungkinkan negara-negara untuk saling menyerahkan terdakwa atau pelaku kejahatan lintas batas untuk diadili sesuai dengan hukum yang berlaku di negara penerima. Dengan diperbaharui, perjanjian ini memperkuat penegakan hukum di kedua negara dan menunjukkan komitmen bersama untuk memberantas kejahatan lintas negara.
Salah satu aspek penting dari perjanjian ini adalah inklusi kejahatan terkait korupsi, terorisme, dan pencucian uang sebagai delik yang dapat diekstradisi. Hal ini mengirimkan pesan jelas bahwa kedua negara tidak akan memberikan tempat perlindungan bagi pelaku kejahatan serius, yang seringkali melintasi batas untuk menghindari tanggung jawab hukum mereka.
Dengan adanya perjanjian ekstradisi yang diperbaharui, penegakan hukum di kedua negara akan semakin efektif. Pihak berwenang dapat bekerja sama lebih baik dalam menghadapi tantangan keamanan lintas batas, seperti perdagangan narkotika dan kejahatan transnasional lainnya.
Selain itu, perjanjian ini juga memberikan perlindungan hukum bagi warga negara yang sah dan menegaskan hak asasi manusia serta prinsip keadilan dalam proses ekstradisi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses ekstradisi mendapatkan perlakuan yang adil dan sesuai dengan norma hukum internasional.
Perjanjian ekstradisi yang diperbaharui ini juga merupakan refleksi dari upaya bersama untuk membangun hubungan yang kuat antara Indonesia dan Singapura di berbagai bidang, termasuk hukum dan keamanan. Ini menunjukkan kematangan kedua negara dalam menangani isu-isu bersama yang berkaitan dengan kejahatan lintas negara dan tantangan global lainnya.
Dengan demikian, Istana Jakarta menjadi saksi dari langkah positif dalam memperkuat kerjasama hukum antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian ekstradisi yang diperbaharui ini bukan hanya menguntungkan kedua negara, tetapi juga memberikan dampak positif bagi upaya global dalam memerangi kejahatan lintas batas dan memperkuat penegakan hukum secara luas.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura yang mulai berlaku, dapat memperkuat jangkauan upaya penegakan hukum.
“Melalui Perjanjian tersebut, Indonesia dapat memperkuat jangkauan upaya penegakan hukum nasional dan pemberantasan tindak pidana,” ujar Ari Dwipayana dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (23/3/2024) seperti dilansir Antara.
Ari menjelaskan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura merupakan kerangka kerja sama hukum untuk melakukan penyerahan pelaku tindak pidana (ekstradisi) antar kedua negara, yang sudah disahkan menjadi UU Nomor 5 Tahun 2023.
Pada dasarnya, kata dia, perjanjian tersebut berlaku untuk mengekstradisi para pelaku 31 jenis tindak pidana, diantaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, narkotika, terorisme, dan pendanaan terorisme.
“Perjanjian tersebut dapat berlaku surut (retroaktif) selama 18 tahun ke belakang, sesuai dengan ketentuan maksimal daluwarsa dalam Pasal 78 KUHP,” jelasnya.
Sebelumnya, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong melalui unggahan di akun resmi Instagramnya menyatakan telah menghubungi Presiden Joko Widodo melalui sambungan telepon untuk menyambut dimulainya pemberlakuan tiga perjanjian antara RI dan Singapura.
Tiga perjanjian itu yakni terkait wilayah udara, ekstradisi dan pelatihan militer.
Berdasarkan informasi yang diunggah dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri RI, secara serentak pada tanggal 21 Maret 2024, Indonesia dan Singapura telah memberlakukan tiga perjanjian yaitu Perjanjian Penyesuaian Layanan Ruang Udara (Re-Allignment Flight Information Region/FIR), Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dan Perjanjian Ekstradisi (Extradition Treaty).
DCA lebih dahulu ditandatangani pada 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali oleh Menteri Pertahanan kedua negara. Sedangkan Perjanjian FIR dan Ekstradisi ditandatangani saat Leaders’ Retreat di Bintan tanggal 25 Januari 2022.