Suratsuara.com – Sebuah pengakuan mengejutkan dari Direktur Utama (Dirut) sebuah perusahaan timah mengguncang industri pertambangan nasional baru-baru ini. Dalam pernyataan yang cukup transparan, Dirut tersebut mengungkap bahwa perusahaan yang dipimpinnya telah mengalami kerugian mencapai angka yang cukup mengkhawatirkan, mencapai total Rp 450 miliar. Pengakuan ini memunculkan berbagai spekulasi dan pertanyaan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kerugian sebesar itu, serta langkah-langkah yang akan diambil untuk memulihkan kesehatan keuangan perusahaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri pertambangan, terutama pertambangan timah, telah menjadi tulang punggung bagi banyak ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dengan demikian, pengungkapan kerugian sebesar ini bukanlah sebuah hal yang dapat diabaikan begitu saja. Kerugian dalam skala sebesar itu dapat memiliki dampak yang signifikan tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri tetapi juga bagi industri secara keseluruhan dan mungkin juga bagi perekonomian negara.
Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi pada kerugian tersebut. Pertama-tama, fluktuasi harga komoditas di pasar global dapat menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja perusahaan pertambangan. Perubahan dalam permintaan dan penawaran, serta kondisi politik dan ekonomi di negara-negara penghasil timah lainnya, dapat memiliki dampak langsung terhadap pendapatan dan keuntungan perusahaan. Terlebih lagi, pandemi COVID-19 telah menyebabkan ketidakpastian ekonomi global yang dapat memperburuk situasi bagi perusahaan pertambangan.
Selain itu, manajemen internal perusahaan juga dapat menjadi penyebab kerugian. Keputusan yang tidak tepat dalam hal pengelolaan sumber daya, investasi yang kurang bijaksana, atau bahkan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan bagi perusahaan.
Namun, di balik kabar buruk ini, pengungkapan transparan oleh Dirut merupakan langkah yang positif menuju penyelesaian masalah. Transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas di antara para pemangku kepentingan perusahaan, termasuk investor, karyawan, dan masyarakat umum. Dengan mengakui masalah dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kerugian, perusahaan memiliki kesempatan untuk memperbaiki situasi dan membuka jalan menuju pemulihan.
Langkah-langkah untuk memulihkan kesehatan keuangan perusahaan kemungkinan akan melibatkan evaluasi menyeluruh terhadap operasi dan strategi bisnis perusahaan. Ini mungkin termasuk restrukturisasi organisasi, pemangkasan biaya, diversifikasi portofolio produk, atau bahkan mencari mitra strategis untuk membantu memperkuat posisi perusahaan di pasar.
Di tengah tantangan yang dihadapi, penting bagi perusahaan untuk tetap fokus pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik, termasuk akuntabilitas, transparansi, dan integritas. Hanya dengan mengadopsi praktik-praktik ini, perusahaan dapat memperbaiki reputasi mereka dan membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan kesuksesan masa depan.
Dalam konteks yang lebih luas, pengungkapan kerugian oleh perusahaan timah ini juga harus menjadi pelajaran berharga bagi industri pertambangan secara keseluruhan. Penting bagi perusahaan-perusahaan dalam industri ini untuk terus meningkatkan pengelolaan risiko, mengadopsi praktik-praktik terbaik dalam tata kelola perusahaan, dan memprioritaskan keberlanjutan dalam operasi mereka.
Akhirnya, pengungkapan kerugian sebesar Rp 450 miliar oleh Dirut perusahaan timah ini menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan bisnis. Meskipun ini mungkin menjadi pukulan bagi perusahaan, langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah ini dapat membantu membangun pondasi yang lebih kuat untuk masa depan yang lebih stabil dan sukses.
Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal blak-blakkan perusahaannya saat ini mencatatkan kerugian hingga Rp 450 miliar. Biang kerok kerugian tersebut, menurut Ahmad terjadi karena harga timah di pasar global tengah mengalami penurunan.
Alhasil, pendapatan dari penjualan perusahaan juga ikut turun. Pada saat yang sama, produksi PT Timah juga disebut Ahmad mengalami penurunan. Belum lagi beban operasional perusahaan masih tetap tinggi
“Bebannya tetap, peak cost-nya tetap tapi pendapatan kita jauh menurun karena produksinya juga jauh menurun. Produksi menurun ditambah parah lagi harga jual timah juga menurun sehingga pendapatan itu jomplang jauh sekali,” ujar Ahmad dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Selasa (2/4/2024).
Pendapatan PT Timah tercatat turun 33% di tahun 2023 menjadi hanya Rp 8,39 triliun, di tahun 2022 sempat menyentuh Rp 12,5 triliun. Sejalan dengan itu, perusahaan mengalami rugi bersih Rp 450 miliar, padahal di tahun 2022 sempat mendapatkan laba hingga Rp 1,04 triliun.
Ketika ditanya soal harga timah turun, Ahmad bilang hal itu salah satunya terjadi karena dunia tengah kebanjiran pasokan timah yang membuat harganya turun. Dia juga menjelaskan ada sejumlah negara yang produksinya mengalami peningkatan, salah satunya adalah Malaysia.
Ahmad memaparkan harga rata-rata timah per metrik ton mengalami penurunan sejak tahun 2021. Di 2021 harga rata-rata mencapai US$ 32.169, kemudian turun di 2022 menjadi US$ 31.474, hingga akhirnya di 2023 menjadi US$ 26.583 per metrik ton.
“Penurunan produksi, harga jual menurun itu karena di pasar dunia itu oversupply,” beber Ahmad.
Mendengar paparan Ahmad, Anggota Komisi VI DPR justru mengaku kaget. Khususnya mengapa kinerja keuangan PT Timah sampai berdarah-darah.
Anggota Komisi VI Haris Turino menyatakan seharusnya Ahmad lebih terbuka mengapa produksi timah bisa turun, bahkan sampai membuat pendapatan PT Timah turun. Khususnya, apakah ada hubungannya kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah dengan buruknya kinerja perusahaan.
“Harusnya dijelaskan pak kenapa produksi turun, bukan hanya pendapatan turun karena produksi dan harganya turun,” kata Haris.
Haris juga kaget melihat kinerja keuangan PT Timah yang sangat fluktuatif. Dia memaparkan di tahun 2020 PT Timah mencatatkan kerugian Rp 340 miliar, kemudian tiba-tiba mendulang keuntungan hingga Rp 1,3 triliun di tahun 2021.
Kemudian, di tahun 2022 keuntungan turun menjadi Rp 1,04 triliun. Namun, tiba-tiba di 2023 kembali mengalami kerugian sampai Rp 450 miliar. Menurutnya, ada yang tidak beres bila melihat tren kinerja keuangan perusahaan.
“Ini menariknya lagi adalah labanya kenapa fluktuatif sekali? Di 2020 rugi Rp 340 miliar, 2021 itu untung Rp 1,3 triliun, di 2022 masih Rp 1 triliunan untung, tahu-tahu 2023 rugi Rp 450 miliar,” kata Haris Turino.
Anggota komisi lainnya, Deddy Sitorus juga menyoroti masalah anjloknya pendapatan PT Timah. Dia mengaku kaget PT Timah bisa sampai merugi. Pasalnya, Deddy menilai harga timah sedang tinggi-tingginya sejak tahun 2018.
“Bapak ini bagaimana menjelaskan tata niaga itu bisa sampai merugi? Karena dari tahun 2018 itu trending-nya harga timah naik terus, nggak ada cerita bisa rugi seharusnya kalau menurut saya,” beber Deddy Sitorus.