Suratsuara.com – Bank Infonesia (BI) yakin inflasi tetap terkendali dalam sasarannya pada 2024 yakni 2,5 plus minus satu persen.
“Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi indeks harga konsumen 2024 tetap terkendali dalam sasarannya,” ujar Perry dalam pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Maret 2024 di Jakarta, Rabu, (20/3/2024), seperti dikutip dari Antara.
Adapun inflasi inti diperkirakan terjaga seiring dengan ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, importer inflation yang rendah sejalan dengan tetap stabilnya nilai tukar rupiah, serta dampak positif faktor struktur terkait berkembangnya digitalisasi, demikian seperti dikutip dari keterangan resmi BI.
Inflasi volatile food (VF) diperkirakan kembali menurun seiring dengan peningkatan produksi akibat masuknya musim panen dan dukungan sinergi pengendalian inflasi TPIP dan TPID melalui program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah, sehingga mendukung upaya menjaga stabilitas harga secara keseluruhan.
Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan moneter pro-stability dan meningkatkan sinergi kebijakan dengan pemerintah pusat dan daerah sehingga inflasi 2024 tetap terkendali dalam sasaran 2,5 plus minus satu persen.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Februari 2024 tercatat sebesar 2,75% (yoy), ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,68% (yoy) dan inflasiadministered prices(AP) yang menurun menjadi 1,67% (yoy). Sementara itu, inflasivolatile food(VF) meningkat menjadi 8,47% (yoy) dari 7,22% pada bulan sebelumnya, dipengaruhi oleh dampak El Nino, faktor musiman, dan pergeseran musim tanam, yang terutama terjadi pada komoditas beras dan cabai merah.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) prediksi neraca pembayaran Indonesia (NPI) 2024 diperkirakan tetap baik dan mencatatkan surplus dengan transaksi berjalan dalam kisaran defisit rendah sebesar 0,1 persen-0,9 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial diprakirakan melanjutkan surplus didukung oleh aliran masuk modal asing yang dipengaruhi persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.
Prospek neraca transaksi berjalan kuartal I 2024 sedikit menurun, dipengaruhi oleh menipisnya surplus neraca perdagangan barang. Pada Februari 2024, neraca perdagangan mencatatkan surplus sebesar USD 0,9 miliar, menurun dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD 2,0 miliar.
Sementara itu, aliran masuk modal asing, khususnya investasi portofolio, terus berlanjut sehingga secara kumulatif sejak awal tahun hingga 18 Maret 2024 masih mencatatnet inflowssebesar USD 1,4 miliar, meskipun sempat terjadioutflowspada Maret 2024 dipicu masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Februari 2024 tetap tinggi sebesar USD 144,0 miliar, setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Sebelumnya diperkirakan, Bank Indonesia (BI) memproyeksi ekonomi global akan tumbuh di kisaran 3,0% pada 2024.Hal itu disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, usai Rapat Dewan Gubernur BI yang dilaksanakan pada 19 Maret dan 20 Maret 2024.
“Pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diprakirakan mencapai 3,0%,” ungkap Perry Warjiyo dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Maret 2024 di Gedung BI, Jakarta pada Rabu (20/3/2024).
BI melihat,momentum pemulihan ekonomi global berlanjut, di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi.Pertumbuhan negara ekonomi utama, Amerika Serikat (AS) juga tetap kuat ditopang oleh permintaan domestik. Kemudian di kawasan Asia, ekonomi India juga tumbuh lebih baik dari prakiraan didukung oleh investasi pemerintah dan swasta.
“Sementara itu, prospek ekonomi Tiongkok tetap belum kuat, meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya didorong peningkatan stimulus fiskal,” beber Perry Warjiyo.
Sedangkan harga komoditas meningkat didorong oleh naiknya biaya angkut karena ketegangan geopolitik dan ketatnya pasokan akibat faktor cuaca. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan laju penurunan inflasi global tertahan, dengan inflasi di negara maju masih di atas targetnya.
Selanjutnya terkait suku bunga Fed Funds Rate (FFR) yang diprakirakan baru menurun pada semester II 2024, ungkap Perry Warjiyo.
Selain itu, ia juga menyoroti kondisi pasar keuangan global yang masih tinggi, terlihat dari yield US Treasury yang meningkat sejalan dengan premi risiko jangka panjang dan inflasi yang masih di atas prakiraan pasar.
“Perkembangan ini mendorong berlanjutnya penguatan dolar AS secara global, lebih terbatasnya aliran masuk modal asing, dan meningkatnya tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market. Kondisi tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia,” imbuhnya.
Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan di posisi 6,0 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 19-20 Maret 2024 seiring pro stability dan menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Selain itu, BI juga menetapkan sukubungaDeposit Facility sebesar 5,25 persen, dansukubungaLending Facility sebesar 6,75 persen
“Bank Indonesia pada 19 dan 20 Maret 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6 persen,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Perry menuturkan, keputusan mempertahankan BI Rate dengan tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yangpro-stability, yaitu untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptivae dan forward lookinguntuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024.
Selain itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetappro-growthuntuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga,” kata Perry.
Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
“Kami terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Perry.