Jumat, November 22, 2024
BerandaInternasionalKonflik Kian Memburuk, Warga Haiti Mulai Putus Asa

Konflik Kian Memburuk, Warga Haiti Mulai Putus Asa

- Advertisement -

Suratsuara.com – SUDAH tiga tahun lamanya Haiti masuk dalam Daftar Pantauan International Rescue Committee (IRC) akibat krisis kemanusian yang terus memburuk.

Gejolak politik di tengah meningkatnya pengaruh kelompok bersenjata non-negara telah melemahkan kapasitas Haiti, termasuk melemahkan keamanan dan berbagai penyediaan layanan dasar.

Guncangan ekonomi dan iklim juga memengaruhi kehidupan warga. Dampaknya, sekitar 90 persen penduduk Haiti mengalami kemiskinan. Hampir separuh penduduk Haiti memerlukan bantuan kemanusiaan.

Walau demikian, rencana tanggap kemanusiaan Haiti pada tahun 2023 hanya menerima 34 persen dari dana yang sebenarnya diperlukan.

“Haiti telah mengalami krisis kemanusiaan yang berkepanjangan, dan setiap beberapa bulan, kekerasan mencapai tingkat yang baru,” kata Serge Dalexis, kepala kantor IRC di Haiti.

“Ketika kekerasan meningkat, jumlah orang baru yang membutuhkan bantuan untuk memenuhi aspek kehidupan yang paling penting juga meningkat,” tambah Dalexis.

Lima Risiko yang Akan Dihadapi Haiti

IRC memprediksi bahwa sepanjang tahun 2024, krisis di Haiti akan terus memburuk. Menurut Daftar Pantauan Darurat IRC tahun 2024, terdapat lima resiko yang akan dihadapi Haiti di tahun ini.

- Advertisement -

Pertama, kekerasan di Haiti akan semakin marak seiring dengan semakin kuatnya kelompok-kelompok kriminal. Geng-geng kriminal mampu memperluas kendali mereka karena lemahnya pemerintahan, praktik korupsi, dan jumlah polisi yang minim.

Kedua,tidak tertanganinya kebutuhan warga sebagai dampak dari gejolak politik. Ketidakstabilan politik akan membatasi kemampuan pemerintah untuk meningkatkan keamanan, memulihkan layanan dasar, dan membangun kembali ketahanan Haiti terhadap guncangan iklim dan guncangan lainnya.

Ketiga,krisis pasokan makanan akibat ekonomi dan iklim. Hampir 50 persen penduduk Haiti sedang menghadapi krisis bahkan kerawanan pangan. Depresiasi mata uang Haiti telah membatasi kapasitas negara itu dalam mengimpor pangan. Maraknya kekerasan juga mengganggu mata pencaharian dan aktivitas pasar karena 90 persen penduduk Haiti berada dalam kemiskinan.

Guncangan iklim dan suhu di atas rata-rata juga berdampak pada produksi pertanian di Haiti. Selama beberapa tahun terakhir, gempa bumi dahsyat dan badai tropis mengakibatkan perpindahan penduduk dan terganggunya kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Hal ini menyebabkan semakin menurunnya daya beli dan terbatasnya akses terhadap sumber daya pangan.

- Advertisement -

Keempat,tidak tertanganinya kebutuhan kesehatan akibat ancaman hancurnya pelayanan-pelayanan dasar di Haiti. Pelayanan kesehatan di Haiti berada di ujung tanduk. Banyak rumah sakit kekurangan staf dan pasokan sehingga tidak mampu lagi menampung atau merawat pasien. Padahal, jumlah warga yang membutuhkan layanan kesehatan semakin meningkat tiap hari, terutama akibat penyebaran penyakit kolera sejak pertengahan tahun 2023.

Kelima,bantuan kemanusiaan yang akan terhambat akibat kelompok-kelompok non-negara bersenjata. Sekitar separuh negara, termasuk 80 persen Ibu Kota Haiti, Port-au-Prince, berada di bawah kendali kelompok bersenjata. Konflik yang sedang berlangsung menghambat penyaluran bantuan dan menimbulkan ancaman besar bagi pekerja bantuan.

Warga Putus Asa

Konflik yang kian memburuk tanpa ada tanda-tanda akan mereda dalam waktu dekat membuat warga semakin putus asa.

Penduduk di wilayah Petionville diPort-au-Prince, contohnya, yang saat ini sedang terguncang setelah menghadapi hari penuh kekerasan yang pernah mereka alami sepanjang krisis keamanan yang meningkat di negara tersebut. Lebih dari selusin mayat yang tubuhnya dipenuhi peluru tergeletak di jalanan. Selain pembunuhan besar-besaran di pagi hari, rumah seorang hakim juga diserang.

Petionville merupakan wilayah yang dapat dikatakan lebih kaya dibanding wilayah-wilayah lain di Port-au-Prince. Tempat itu seharusnya juga lebih aman daripada wilayah-wilayah lainnya. Namun, insiden tersebut membuktikan sebaliknya.

Direktur eksekutif Unicef, Catherine Russell, menyebut situasi di Haiti “mengerikan” dan menyamakan kondisi di sana dengan film pasca-apokaliptik, Mad Max.

Insiden di Petionville dapat dijadikan peringatan bahwa Haiti masih lebih dekat dengan anarki ketimbang stabilitas.

Sesuai dengan prediksi IRC, laporan dari PBB juga memperkirakan bahwa sebanyak 3.000 ibu hamil akan terancam harus melahirkan tanpa bantuan medis akibat banyaknya rumah sakit yang tutup di ibu kota negara itu.

TimBBC mendatangi bangsal bersalin di rumah sakit umum Cap Haitien. Mereka menemui Markinson Joseph yang baru saja melahirkan bayi laki-laki dua hari sebelumnya. Ia berkata kepada reporter BBC bahwa dirinya sangat ingin membawa bayinya itu keluar negeri jika ada kesempatan.

“Tetapi saya dan suami tidak punya uang untuk melarikan diri,” katanya.

Tim reporter BBC juga mengitari rumah sakit tersebut dan menemukan banyak bangsal yang gelap dan kosong akibat sulitnya menemukan pasokan listrik. Rumah sakit tersebut kesulitan mendapatkan obat-obatan serta peralatan yang mereka butuhkan.

Mardoche Clervil, dokter kandungan di rumah sakit itu mengatakan, banyak perempuan yang tidak bisa pergi ke Rumah Sakit Cap Haitien untuk melahirkan.

“Seperti yang Anda lihat, kami memiliki cukup tempat tidur dan staf,” katanya sambil menunjukkan kepada BBC tim perawat dan dokter magang yang berada di belakangnya.

“Tetapi seringkali pasien bisa dapat menghubungi kami, baik karena masalah sosial-ekonomi mereka atau karena kekerasan yang mereka alami,” tambah Clervil.

Kebutuhan kemanusiaan kini menjadi hal yang sangat krusial namun sayangnya respons bantuan sejauh ini sangat lambat. Hal-hal mendasar dan penting seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang aman semakin sulit ditemukan bagi jutaan orang di Haiti.

Di Port-au-Prince, Farah Oxima dan sembilan anaknya dipaksa meninggalkan rumah mereka di lingkungan yang dikuasai geng kekerasan. Mereka hanyalah segelintir dari lebih dari 360.000 pengungsi internal dampak dari konflik tersebut.

Farah Oxima yang berusia 39 tahun itu mengaku kesulitan menyediakan makanan dan air untuk anak-anaknya.

“Saya tidak tahu harus berbuat apa, saya menyaksikan negara ini runtuh,” katanya kepada BBC.

Baginya, gagasan bahwa dewan transisi dapat menerapkan suatu bentuk ketertiban atau keamanan dalam jangka pendek tampaknya sangat mustahil.

- Advertisement -
Advertisement
RELATED ARTICLES

Tetap Terhubung

199,856FansSuka
215,976PengikutMengikuti
152,458PengikutMengikuti
284,453PelangganBerlangganan

Most Popular