Suratsuara.com – Muda mudi di China kini mengalihkan investasinya ke komoditas emas. Hal ini merupakan imbas deflasi terburuk di China dalam 15 tahun terakhir, pasar saham berhasil dan suku bunga yang terlalu rendah membuat emas dilirik sebagai instrumen investasi yang menjanjikan.
Dikutip dari Straits Times, Selasa (19/4/2024), menurut laporan Bloomberg, emas dengan bentuk bijih kopi sedang viral menjadi instrumen investasi bagi kawula muda di China. Dengan berat masing-masing hanya satu gram, biji kopi emas semakin dipandang sebagai investasi teraman bagi generasi muda China di era ketidakpastian ekonomi.
Hal ini merupakan bagian dari tren konsumen yang lebih besar terhadap semua jenis emas, mulai dari emas batangan, bentuk biji-bijian, dan gelang.
Tina Hong misalnya, perempuan berusia 18 tahun ini juga mempercayakan investasinya untuk membeli emas. Dia percaya uangnya tidak akan surut bila berinvestasi emas.
“Pada dasarnya tidak mungkin kehilangan uang karena membeli emas,” kata Hong yang merupakan seorang mahasiswa baru di provinsi Fujian.
Pada bulan Januari, Hong mulai membeli biji emas karena harganya yang relatif murah, sekitar 600 yuan atau sekitar Rp 1,3 juta per gram. Kini dia memiliki lebih dari dua gram biji kopi tersebut dan akan terus membelinya selama harganya lebih rendah dari harga emas internasional.
Dicap sebagai pintu masuk investasi bagi konsumen muda, biji kopi emas yang dikemas dalam toples kaca, adalah barang terlaris terbaru di toko perhiasan China. Konsumen Generasi Z, yang terdampak oleh tingginya pengangguran kaum muda dan merosotnya China ke dalam deflasi kini menjadi konsumen utama aksesori emas di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Daya tarik emas muncul ketika masyarakat menarik kembali belanjanya di tengah pertumbuhan yang mengecewakan selama berbulan-bulan.
Kurangnya kepercayaan terhadap investasi tradisional juga telah memicu demam emas baru di China. Pasar saham negara ini mengalami penurunan setelah dibuka kembali setelah pandemi, dengan salah satu tolok ukur utamanya turun ke level yang terakhir terlihat pada tahun 2018.
Kelas menengah menanggung beban terbesar dari penurunan nilai properti, sementara bank sentral telah menurunkan suku bunga utama. Ini pertama kali sejak Desember 2021, memangkas keuntungan dari produk-produknya perbankan.