Kekhawatiran Menggema Atas Rencana Revisi UU Polri
Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyuarakan kekhawatiran mendalam atas draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang baru-baru ini muncul. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menduga ada motif tersembunyi di balik upaya revisi tersebut.
“RUU Polri ini sangat berbahaya bagi keamanan, kelembagaan, perlindungan HAM, dan ruang demokrasi,” tegas Isnur dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Minggu (2/5/2024). Ia menegaskan perlunya masukan masyarakat yang luas dan kajian mendalam untuk merevisi undang-undang tersebut.
Menurut Isnur, jika Presiden Joko Widodo berencana mengirimkan surat presiden untuk DPR dalam merumuskan RUU tersebut, ia harus sangat kritis dalam menilai substansinya. “Kita bisa melihat ada udang di balik batu, jangan-jangan ini undang-undang yang disiapkan pemerintah tapi kemudian diselipkan melalui DPR,” ujarnya.
Isnur khawatir RUU Polri disahkan secara tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang matang. “Ini muncul tiba-tiba, diusulkan tiba-tiba, dan disepakati begitu cepat,” katanya. Ia menekankan bahwa jika RUU tersebut disahkan, itu akan menjadi noda hitam bagi pemerintahan Jokowi.
“Ini akan menjadi warisan yang sangat buruk dari pemerintahan Presiden Jokowi,” tegas Isnur. “Jika di akhir pemerintahannya, ia justru menyetujui undang-undang yang merugikan demokrasi, HAM, dan upaya reformasi yang telah kita capai pascareformasi.”
Salah satu poin kontroversial dalam RUU Polri adalah kewenangan baru yang diberikan kepada Polri untuk memblokir konten di ruang siber, sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 huruf Ayat (1) Huruf q. Isnur menilai kewenangan ini sangat berpotensi disalahgunakan dan membungkam kebebasan berekspresi.
“Ini sangat mengkhawatirkan karena Polri tidak memiliki keahlian untuk menentukan konten mana yang pantas diblokir dan mana yang tidak,” kata Isnur. “Ini bisa menjadi alat yang ampuh untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berpendapat.”
YLBHI mendesak pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali RUU Polri secara menyeluruh. Isnur menegaskan bahwa reforma kepolisian yang dibutuhkan harus berfokus pada peningkatan kapasitas, transparansi, dan akuntabilitas, bukan pada perluasan kewenangan.
“Jika pemerintah berniat memperbaiki Polri, seharusnya berfokus pada aspek-aspek fundamental,” kata Isnur. “Bukannya malah memberi kekuasaan baru yang berpotensi disalahgunakan.”
Kekhawatiran yang diutarakan YLBHI mendapat dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan pakar hukum. Mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang RUU Polri dengan melibatkan partisipasi publik yang luas dan memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan benar-benar melindungi hak-hak warga negara dan memperkuat demokrasi.