Kinerja Legislasi DPR Disorot, Capaian Minim Dinilai Buruk
JAKARTA – Lembaga Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritisi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam fungsi legislasi pada Masa Sidang IV Tahun 2023-2024. Kritik tersebut dilontarkan karena DPR hanya berhasil menyelesaikan satu dari total 47 Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2024.
“Capaian ini menjadi potret buram kinerja DPR dalam hal legislasi,” ujar Peneliti Formappi Yohannes Taryono dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (13/5/2024).
Taryono merinci, dari 47 RUU Prioritas Tahun 2024, baru satu RUU yang disahkan, yaitu RUU Daerah Khusus Jakarta. Sementara itu, sebanyak 46 RUU lainnya masih dalam proses pembahasan.
Dengan capaian yang minim tersebut, Formappi menilai beban legislatif DPR semakin berat. Beban tersebut bertambah berat mengingat masa kerja DPR akan berakhir pada 1 Oktober mendatang.
Selain mengevaluasi pencapaian legislasi DPR, Formappi juga menyoroti penambahan beban baru berupa pembahasan 26 RUU tentang Kabupaten/Kota. Formappi khawatir penambahan beban ini akan semakin menghambat proses pembahasan RUU yang berkualitas.
“Penumpukan beban legislasi di tengah sempitnya waktu berpotensi mengurangi kualitas RUU yang dihasilkan,” ujar Taryono.
Formappi memprediksi DPR masa bakti 2019-2024 tidak akan mampu menyelesaikan seluruh RUU Prioritas Tahun 2024 dan usulan RUU inisiatif DPR yang tersisa.
Beban Legislasi Terlalu Berat
Formappi memandang bahwa beban kerja legislasi DPR terlalu berat. Dengan waktu kerja yang terbatas dan banyaknya RUU yang harus dibahas, DPR dinilai kesulitan untuk melakukan pembahasan yang mendalam dan komprehensif.
“Hal ini berpotensi menghasilkan produk legislasi yang tidak berkualitas dan kurang representatif terhadap aspirasi masyarakat,” kata Taryono.
Selain itu, Formappi juga mengkritik lambatnya DPR dalam merespons kebutuhan legislasi yang mendesak. Formappi mencontohkan masih mangkraknya RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang telah bertahun-tahun menjadi perhatian publik.
“Lambatnya pembahasan RUU ini menunjukkan ketidakpekaan DPR terhadap kebutuhan mendesak masyarakat, khususnya kelompok rentan,” ujar Taryono.
Rekomendasi Formappi
Untuk mengatasi permasalahan legislasi yang dihadapi DPR, Formappi memberikan sejumlah rekomendasi, di antaranya:
* DPR harus memprioritaskan pembahasan RUU yang mendesak dan krusial bagi masyarakat.
* DPR harus mengalokasikan waktu kerja yang lebih efektif dan efisien untuk pembahasan legislasi.
* DPR harus melibatkan partisipasi publik secara aktif dalam proses legislasi untuk memastikan aspirasi masyarakat terakomodasi.
* DPR harus mengevaluasi dan memperbaiki tata cara pembahasan RUU agar lebih transparan dan akuntabel.
“Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, DPR dapat meningkatkan kinerja legislasinya dan menghasilkan produk hukum yang berkualitas dan berdampak positif bagi masyarakat,” pungkas Taryono.