Perpecahan Politik: Eksperimen Radikal untuk Mengatasi Polarisasi Religius
Semarang – Profesor Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, menyoroti potensi kolaborasi politik antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 sebagai upaya berani untuk mengatasi polarisasi politik yang kian menguat. Didik mengibaratkan “radikal sekuler” dengan “radikal kiri anti-agama”, menandakan kesamaan pola pikir yang cenderung ekstrem.
“Konsep menyatukan Anies dan Ahok adalah eksperimen menarik untuk menyingkirkan stereotip politik yang mengarah pada perpecahan radikal, baik yang bercorak agama maupun sekuler,” ujar Didik kepada ANTARA melalui pesan singkat pada Sabtu.
Dalam pandangan Didik, iklim politik dan demokrasi yang terbuka saat ini memberikan kesempatan yang baik untuk mengoreksi persepsi yang keliru. Ia meyakini penyatuan Anies dan Ahok dimungkinkan oleh beberapa faktor.
Pertama, Anies dipandang sebagai sosok religius yang tidak radikal seperti yang digambarkan pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Kedua, Ahok, meskipun dikenal temperamental, memiliki jiwa nasionalisme yang kuat, terbukti dari rekam jejak politiknya.
Ketiga, keduanya tidak lagi memiliki dorongan untuk bersikap radikal karena Anies berpeluang maju dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dengan citra nasionalis religius yang moderat. Ahok pun dinilai dapat diterima dengan baik oleh publik.
“Anies dan Ahok pasti menyambut positif gagasan ini karena dapat menjadi simbol persatuan di antara mereka,” imbuh Didik.
Mengenai peluang kemenangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, Didik memperkirakan ia memiliki kans yang sangat besar, bahkan mendekati 100%. Hal ini didasarkan pada catatan prestasi Anies selama memimpin Jakarta, meski juga mendapat kritik.
“Jakarta telah banyak berubah dan banyak hal telah dirampungkan, itu bagian dari pencapaiannya. Di sisi lain, popularitas Anies meningkat setelah menjadi calon presiden,” kata Didik.
Didik berpendapat bahwa jika Anies tidak masuk ke dalam kancah politik selama lima tahun ke depan, namanya akan tenggelam dari peredaran. Berbeda dengan sosok pemimpin partai politik, seperti Prabowo Subianto atau Jusuf Kalla pada masanya, Anies tidak memiliki basis dukungan yang kuat.
“Karenanya, berkiprah dalam politik di Jakarta merupakan kesempatan yang bagus, bukan hanya untuk kariernya, tetapi juga bagi bangsa dan Pilpres 2029,” pungkas Didik.