Suratsuara.com – Sebagai sebuah kota yang kaya akan sejarah dan budaya, Jakarta menyimpan sejumlah harta bersejarah yang belum tentu dikenal oleh semua orang. Salah satu harta terpendam yang mencakup kekayaan budaya dan religi adalah Masjid Jami’ Angke. Dibangun pada abad ke-18, masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu dari berbagai peristiwa penting dalam sejarah kota Batavia.
Sejarah yang Tersembunyi
Masjid Jami’ Angke, terletak di Kampung Angke, Jakarta Barat, telah berdiri kokoh selama lebih dari tiga abad. Namun, sejarahnya yang kaya sering kali terabaikan oleh kebanyakan orang. Dibangun pada tahun 1770 Masehi, masjid ini merupakan salah satu dari sedikit bangunan bersejarah yang masih berdiri tegak di tengah gemerlapnya kota metropolitan Jakarta.
Jendela ke Masa Lalu
Masjid Jami’ Angke bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga merupakan jendela yang membuka pandangan ke masa lalu. Dinding-dindingnya telah menyaksikan perjalanan panjang kota Batavia, dari masa penjajahan Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. Arsitektur masjid ini memperlihatkan campuran gaya arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur Belanda yang mencerminkan keragaman budaya dan sejarah yang melimpah di Jakarta.
Simbol Keharmonisan
Lebih dari sekadar bangunan bersejarah, Masjid Jami’ Angke menjadi simbol keharmonisan antara berbagai kelompok etnis dan agama yang hidup berdampingan di Jakarta. Selama berabad-abad, masjid ini telah menjadi tempat berkumpul dan beribadah bagi masyarakat Muslim serta menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya di lingkungan sekitarnya.
Menghargai Warisan Kuno
Dalam era modern ini, di mana pembangunan terus bergulir maju, penting bagi kita untuk tidak melupakan warisan kuno yang telah memberi identitas pada kota-kota kita. Masjid Jami’ Angke adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebuah bangunan dapat menjadi penjaga sejarah yang hidup, mengajarkan kita untuk menghargai dan merawat warisan budaya kita.
Membuka Mata dan Hati
Bagi para wisatawan dan penduduk setempat, mengunjungi Masjid Jami’ Angke bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual dan sejarah. Melangkah masuk ke dalam kompleks masjid ini, seseorang tidak hanya berinteraksi dengan batu-batu kuno dan ukiran indah, tetapi juga dengan cerita-cerita yang tersembunyi di dalamnya.
Masa Depan Warisan Kuno
Meskipun telah berusia lebih dari tiga abad, Masjid Jami’ Angke masih tetap berdiri dengan megahnya. Namun, untuk memastikan keberlangsungan masa depannya, perlu dilakukan upaya pelestarian yang serius. Ini termasuk pemeliharaan rutin, pendidikan masyarakat tentang pentingnya warisan budaya, dan dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait.
Mengakhiri Perjalanan
Sebuah kunjungan ke Masjid Jami’ Angke tidak hanya akan memberikan Anda pengalaman spiritual yang mendalam, tetapi juga memperkaya pemahaman Anda tentang sejarah Jakarta. Dengan memandang bangunan kuno ini, kita dapat merenungkan perjalanan panjang kota ini, serta menghargai keragaman budaya yang menjadi kekuatan utamanya.
Masjid Jami’ Angke bukan hanya sekadar bangunan bersejarah; itu adalah cermin dari perjalanan panjang kota Jakarta. Sebagai warisan kuno yang hidup, masjid ini menantang kita untuk tidak hanya melihat ke masa lalu, tetapi juga merenungkan peran kita dalam merawat warisan budaya untuk generasi mendatang.
Penduduk Jakarta, khususnya yang tinggal di daerah Jakarta Barat tentu tidak asing dengan nama Angke, lokasinya ada di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Namun sepertinya tidak banyak yang tau bahwa Angke ialah kawasan yang menyimpan sejarah panjang kehidupan orang Batavia dalam menghadapi pemerintah Belanda.
Ada beragam pendapat yang memaknai kata “Angke”, salah satunya pendapat mengatakan bahwa “Angke” diambil dari bahasa China Hokkian, yaitu “Ang” yang berarti darah atau merah, dan “Ke” yang berarti sungai atau kali.
Nama Angke disematkan karena menurut sejarah, dahulu pernah terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia sekitar 1740, dan mengakibatkan ribuan orang Tionghoa meninggal dibunuh kolonial Belanda.
Jenazah orang Tionghoa tersebut bergelimpangan dan sebagian besar di antaranya hanyut ke kali (kini Kali Angke). Alhasil, air kali menjadi berwarna merah karena tercampur darah manusia.
Sehingga, nama “Angke” melekat, dan daerah tersebut yang dulunya bernama Kampung Bebek berubah menjadi Kampung Angke.
Pada masa pemerintahan Belanda, penduduk dikelompokkan berdasarkan etnisnya, dan setiap etnis dikepalai oleh seorang pemimpin yang disebut kapitan. Begitu juga dengan kelompok yang tinggal di Kampung Angke.
Mengutip buku “Masjid & Majelis Bersejarah di Jakarta Barat” karya Firman Haris, Kartum Setiawan, Agus Wirawan, dan Usman (2023), dahulu Kampung Angke menjadi tempat persinggahan para pedagang etnis Tionghoa setelah peristiwa berdarah tahun 1740.
Tidak hanya orang Tionghoa, orang Bali perantauan pun juga bermukim di sana. Kemudian secara besar-besaran datanglah orang Tionghoa dan Sunda yang berasal dari Garut ke Batavia.
Jumlah orang Bali di Batavia pada saat itu bisa dibilang cukup besar, bahkan pernah menjadi populasi terbanyak kedua di Batavia.
Pada 1687 setidaknya ada sekitar empat kampung Bali di sekitar Batavia, dan pada 1709 kampung Bali di sana dipimpin oleh kapitan bernama Gusti Ktut Badulu.
Orang Bali yang tinggal di sana tidak semuanya beragama Hindu, ada pula yang beragama Islam. Inilah yang menjadi salah satu cikal bakal berdirinya Masjid Jami’ Angke pada 1761.
Arsitektur Masjid Jami’ Angke mengadopsi beragam gaya arsitektur. Seperti ukiran pada bagian pintu yang menonjolkan unsur budaya Bali.
Kemudian pada bagian atas masjid berbentuk tajuk tumpang dengan konstruksi soko guru merupakan pengaruh bentuk arsitektur tradisional Jawa.
Sementara itu, bagian jendela masjid mengadopsi gaya arsitektur khas Betawi. Jendela di sini hanya dibatasi tiang kayu dan tidak ditutup sempurna, karena berfungsi sebagai sumber cahaya matahari untuk masuk ke dalam masjid.
Jika melihat bagian atap masjid, terdapat ornamen gigi balang yang merupakan ornamen khas pada rumah suku Betawi.
Bangunan Masjid Jami’ Angke termasuk kecil karena hanya memiliki daya tampung sekitar 1.000 jamaah. Meskipun begitu, masjid ini masih banyak dikunjungi, entah untuk beribadah atau wisata sejarah.
Bila hendak berkunjung ke Masjid Jami’ Angke, lokasinya ada di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid 1, RT 001 RW 005, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.