Suratsuara.com – Dunia politik Indonesia selalu menjadi arena yang penuh dengan dinamika dan kontroversi. Belakangan ini, pernyataan yang diutarakan oleh Hasto Kristiyanto, politisi senior dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengenai putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, telah menimbulkan gelombang perdebatan yang luas di kalangan masyarakat.
Dalam konteks ini, “Rampai Nusantara” ingin menyoroti pernyataan Hasto yang menuai kontroversi terkait Gibran. Pernyataan tersebut mencuat dalam sebuah acara diskusi di media sosial yang dihadiri oleh Hasto bersama sejumlah politisi lainnya. Dalam kesempatan tersebut, Hasto mengeluarkan pernyataan yang menyoroti kualitas kepemimpinan dan pengalaman politik Gibran, yang saat itu masih menjadi Wali Kota Surakarta.
Salah satu poin kritik yang dilontarkan Hasto adalah terkait dengan kapasitas kepemimpinan Gibran dalam mengemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin daerah. Meskipun tidak secara langsung menyebut nama, namun konteks pembicaraan jelas mengarah pada Gibran sebagai figur politik yang tengah diperhitungkan di kancah politik nasional.
Tentu saja, pernyataan Hasto ini menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang mendukung pandangannya, menganggapnya sebagai kritik konstruktif yang patut diperhatikan oleh Gibran dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin daerah. Namun, tidak sedikit pula yang menyayangkan cara Hasto menyampaikan kritik tersebut, mengingat posisinya sebagai sesama kader di dalam partai yang sama.
Sebagai anak muda yang mewakili generasi baru dalam dunia politik Indonesia, pernyataan Hasto tentu menjadi sorotan utama. Hal ini mengingat peran penting Gibran sebagai figur publik yang memiliki potensi besar untuk berkembang dalam dunia politik tanah air. Dalam konteks ini, menjadi penting bagi semua pihak untuk menyikapi pernyataan-pernyataan yang dapat memengaruhi opini publik terhadap sebuah kepemimpinan.
Meski demikian, perlu diingat bahwa setiap kritik haruslah memperhatikan konteks, adab, dan tujuan konstruktif yang ingin dicapai. Kritik yang bersifat membangun dapat menjadi landasan untuk perbaikan dan pertumbuhan, namun jika dilontarkan tanpa memperhatikan etika dan kepatutan, dapat menimbulkan polemik yang tidak produktif.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang cerdas dan kritis, kita perlu mampu menyaring informasi, mengevaluasi setiap pernyataan, dan mengambil hikmah dari setiap kritik yang disampaikan. Dengan demikian, kita dapat menciptakan ruang diskusi yang sehat dan konstruktif dalam membangun bangsa dan negara yang lebih baik di masa depan.
Ketua Umum Rampai Nusantara, Mardiansyah Semar, menyesalkan pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang mengibaratkan Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai calon wakil presiden seperti sopir truk yang membuat kecelakaan di Gerbang Tol Halim.
Mardiansyah tidak sepakat dengan Hasto. Dia pun menyayangkan, pernyataan yang dinilai sebagai aksi blunder dari seorang Sekjen PDIP.
“Hasto sedang bingung yang bersangkutan sering blunder dalam mengeluarkan pernyataan yang justru merugikan partai,” kata Mardiansyah melalui siaran pers diterima, Senin (1/4/2024).
Sebagai seorang aktivis politik di era 98, Mardiansyah juga menilai pernyataan Hasto tidak mencerminkan kualitas dirinya yang saat ini menjabat selaku Sekjen. Dia berharap, Hasto kedepan bisa lebih baik.
“Pernyataan-pernyataanya sangat tidak mencerminkan petinggi partai politik, semoga Bu Megawati juga mengontrol yang bersangkutan,” tambahnya.
Ia menyarankan, Hasto fokus terhadap urusan partainya yang belum selesai. Salah satunya, kasus korupsi yang menjerat kadernya dan masih buron, Harun Masiku.
“Kami mendorong KPK segera menemukan Harun Masiku dan jika bukti sudah cukup, segera tuntaskan dan jangan ragu atau takut,” pungkasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengibaratkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 layaknya kasus kecelakaan beruntun di Gerbang Tol (GT) Halim Utama yang disebabkan sopir truk mebel.
Menurut Hasto, baik sopir truk pemicu kecelakaan beruntun maupun Gibran memiliki kesamaan, yakni masalah krisis kedewasaan.
“Saya memberikan contoh ketika menyampaikan pembicaraan, kebetulan ada persoalan sangat serius ketika di dekat pintu gerbang tol Halim ada sopir truk yang usianya baru 17 tahun, belum punya SIM dan kemudian mengalami dua krisis,” kata Hasto di Media Center Ganja- Mahfud, Jakarta, Senin (1/4/2024).
Hasto menjelaskan, krisis pertama yakni saat sopir truk menyenggol kendaraan lain. Kedua, karena belum cukup dewasa dan berumur, sopir tancap gas hingga menyebabkan kecelakaan beruntun.
“Artinya untuk sopir truk saja diperlukan suatu kedewasaan,” katanya.
Ia mengingatkan, bahkan usia menjadi syarat bagi seseorang untuk memiliki SIM. Oleh karena itu yang sama juga berlaku untuk pencalonan presiden dan wakil presiden, dibutuhkan usia cukup yakni syarat usia 40 tahun.
“Ternyata untuk mengatasi konflik, persoalan di lapangan butuh kedewasaan, apalagi untuk memimpin bangsa dan negara. Maka usia 40 tahun sebagai capres dan cawapres itu merupakan suatu usia yang menunjukkan tingkat kematangan,” katanya.
Hasto Kristiyanto juga menyindir, bagaimana sopir truk yang belum cukup usia bisa menyebabkan kecelakaan, apalagi seorang pemimpin.
“Kalau kasus di jalan raya aja menciptakan korban seperti ini, apalagi kalau persoalan-persoalan di tingkat nasional? Jangan-jangan nanti pas rapat kabinet misalnya, sekiranya proses ini tak terbendung karena abuse of power, lebih asik naik sepeda,” ucap Sekjen PDIP ini memungkasi.