Suratsuara.com – Pemilihan Presiden 2024 telah usai, dan hasilnya telah mengukuhkan pemenang yang akan memimpin negara untuk periode berikutnya. Namun, di balik kejayaan pemenang, ada pula kepentingan strategis bagi partai politik yang tidak berhasil meraih kemenangan. Para pengamat politik memperdebatkan peran penting partai politik yang kalah dalam pemilu presiden untuk membentuk oposisi yang kuat dan tangguh di masa mendatang.
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa keberadaan oposisi yang kuat merupakan ciri penting dari sebuah sistem demokrasi yang sehat. Oposisi yang kuat dapat berperan sebagai pengawas dan pengkritik kebijakan pemerintah, mendorong transparansi, akuntabilitas, dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem politik. Oleh karena itu, partai politik yang kalah dalam pemilihan presiden memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi bagian dari oposisi yang efektif.
Salah satu manfaat utama dari keberadaan partai politik yang kalah dalam pemilihan presiden adalah diversifikasi opini dan gagasan di dalam lembaga legislatif. Dengan representasi yang beragam, parlemen dapat memperoleh sudut pandang yang lebih luas terhadap berbagai isu penting yang dihadapi negara dan masyarakat. Ini memungkinkan proses legislasi menjadi lebih inklusif dan mempertimbangkan beragam kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat.
Selain itu, keberadaan partai politik yang kuat dalam oposisi juga dapat mendorong kompetisi politik yang sehat. Kompetisi ini memicu partai pemenang untuk tetap berkinerja dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, partai oposisi yang tangguh harus memiliki kemampuan untuk menyusun alternatif kebijakan yang kredibel dan memberikan solusi konkret terhadap masalah yang dihadapi.
Tidak hanya itu, peran partai politik yang kalah dalam pemilihan presiden juga penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan tidak boleh terlalu terpusat pada satu pihak saja. Dengan adanya oposisi yang kuat di lembaga legislatif, kebijakan-kebijakan pemerintah akan melalui proses evaluasi yang lebih ketat dan meminimalisir potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, untuk dapat berperan secara efektif, partai politik yang kalah juga harus mampu melakukan introspeksi dan reformasi internal. Mereka perlu memperbaiki citra, meningkatkan kualitas kepemimpinan, dan memperkuat basis dukungan di masyarakat. Dengan demikian, mereka dapat menjadi kekuatan yang konstruktif dalam sistem politik, bukan sekadar oposisi yang mengkritik tanpa memberikan solusi yang membangun.
Dalam konteks pemilihan presiden 2024, peran partai politik yang kalah tidak boleh diabaikan. Mereka memiliki potensi besar untuk membentuk oposisi yang kuat dan tangguh, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat besar bagi dinamika demokrasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, proses demokrasi harus terus didorong untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan perwakilan yang beragam di semua tingkatan pemerintahan.
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih RI periode 2024-2029 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Sejak saat itu, Prabowo nampak mulai merangkul lawan politik di Pilpres 2024 dengan menyambangi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Nasdem sendiri mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024.
Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin, mengatakan hal itu dilakukan Prabowo karena menyadari pemerintahannya nanti membutuhkan kekuatan mayoritas di parlemen.
Meski begitu, Ujang menilai partai politik (parpol) yang kalah Pilpres 2024 perlu membangun oposisi yang kuat dan tangguh. Hal itu, kata Ujang guna memastikan adanya fungsi pengawasan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Kita ini sebagai bangsa membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh agar terjadi check and balances, agar terjadi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,” kata Ujang kepada Liputan6.com, Senin (25/3/2024).
Pasalnya, Ujang menyebut tidak akan bagus pula jika semua parpol berada dalam koalisi pemerintahan yang baru. Oleh sebab itu, kata Ujang mestinya ada pihak-pihak yang kuat dan tangguh untuk menjadi oposisi.
“Dalam konteks hari ini ya tadi karena yang menang merangkul yang kalah sehingga mayoritas meninggalkan oposisi yang kecil, tidak ada check and balances. Perlu dipikirkan bagaimana ada formula oposisi yang kuat dan tangguh sehingga ada check and balances,” jelas Ujang.
Ujang memprediksi, PDI Perjuangan (PDIP) akan menjadi salah satu parpol oposisi yang kuat di pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, PDIP bakal menjadi oposisi yang loyal.
“Kita lihat kemungkinan besar ya PDIP yang akan siap menjadi oposisi dan oposisinya pun bukan oposisi radikal, tapi kelihatannya oposisi loyal ataupun oposisi konstruktif begitu,” ucap Ujang.
Ujang memprediksi, PDI Perjuangan (PDIP) akan menjadi salah satu parpol oposisi yang kuat di pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, PDIP bakal menjadi oposisi yang loyal.
“Kita lihat kemungkinan besar ya PDIP yang akan siap menjadi oposisi dan oposisinya pun bukan oposisi radikal, tapi kelihatannya oposisi loyal ataupun oposisi konstruktif begitu,” ucap Ujang.
Sebelumnya,Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) kembali meluncurkan survei nasionalnya dengan tema, Persepsi Gen Z dan Milenial Terhadap Peluang Rekonsiliasi PolitikPDIP-Gerindra.
Wakil Direktur LPI, Ali Ramadan menjelaskan, ceruk responden Gen Z dan Milenial diambil sebab mereka memiliki cara pandang yang kritis dan melek digital sepanjang Pemilu 2024
“Untuk masa pemerintahan 2024-2029 atau pihak yang kalah harus mengambil peran sebagai oposisi, ragam padangan itulah yang terangkum dalam survei kali ini. LPI secara khusus mengambil kluster responden dari GEN Z oleh sebab karakteristiknya yang independen, kritis dan digital native,” kata Ali saat jumpa pers hasil surveinya di Plaza Semanggi Jakarta, seperti dikutip Selasa (19/3/2024).
Ali mengungkap, hasil dari survei tersebut adalah mayoritas responden menyatakan keinginan PDIP berada di jalur opisisi. Mereka tidak setuju jika PDIP dirangkul kelompok pemenang Pilpres 2024.
“Jadi didapati sebanyak 48.8% responden tidak menyetujui rekonsiliasi PDI Perjuangan dengan Partai Gerindra. Sementara yang menjawab setuju sebanyak 17.2% responden,” jelas Ali.
Ali menambahkan, saat ditanya lebih lanjut soal apa yang menjadi alasan responden tidak setuju soal rekonsiliasi PDIP dan Gerindra, jawabannya, sebanyak 44.3% dari mereka mengatakan agar bisa mengurangi instabilitas politik di parlemen yang berdampak terhadap kondusivitas jalannya pemerintahan di masa 2024-2029.
“Disusul 21.2% responden yang menjawab bahwa PDI Perjuangan dan Gerindra sama-sama partai besar yang berpengaruh,” ungkap Ali.
Ali menambahkan, alasan berikutnya dari responden adalah 66.2% dari mereka berharap agar PDIP tidak bergabung di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran dan mengambil peran sebagai oposisi politik di parlemen atau kekuatan penyeimbang.
“Lalu sebanyak 17.1% responden menyebutkan bahwa bila PDIP dan Gerindra berkoalisi kembali, hanya untuk kepentingan segilintir elite politiknya,” Ali menandasi.